Gus Farid

Avatartentang pengharapan dan kegelisahan terhadap "good society" di Indonesia

APA YANG SALAH, ADIK?

aku malu mengaku ini nafsu
semenjak kutahu kau tak bergeming oleh kilau
karena kau hanya hendak hirau
kepada hidup, kepada sesama, kepada yang berada dalam limbo

apa yang salah padaku, adik?

aku malu mengaku ini nafsu
karena di batinku muncul wayang setubuh
sementara kau seperti malaikat tak bertubuh
menatapku dalam gelegak mendamba penuh

apa yang salah padamu, adik?
Menuju Masyarakat Siaga TB


Tingkat penyebaran TB di Indonesia ibarat korupsi saja: berada di urutan ke-3 di antara negara-negara paling banyak terjangkit TB di dunia. Dari setiap 100.000 penduduk Indonesia, TB menjangkiti 110 orang dan menjadi pembunuh urutan ketiga setelah penyakit kardiovaskuler dan sistem respirasi (WHO’s SEA Report 2005). Robert Koch, penemu kuman Mycobacterium tuberculosis pada 24 Maret 1882, mungkin tidak sampai mengira bakal demikian halnya.


POTRET SEKARANG
Estimasi kasus TB baru di Provinsi DIY berjumlah 2.200 per tahun. Di Indonesia sendiri kini ada 600.000 penyandang TB positif, yang menimbulkan dampak yang mereduksi kesejahteraan secara signifikan. Pengidap TB rata-rata mengalami nestapa sakit selama hampir empat bulan dalam setahun dan kehilangan nafkah sekitar seperempat dari yang seharusnya. Angka-angka tersebut secara kolektif akan menggelinding bagai bola salju kalau intervensi yang dilakukan gagal.

Mengingat dampak, sebaran dan karakternya yang lintas status sosial (tua-muda, kaya-miskin, pria-wanita), penanggulangan TB mau tidak mau harus dengan melibatkan masyarakat secara komprehensif. Intervensi dalam bentuk “proyek” yang secara bertahap dikondisikan menjadi “program”, penting dilaksanakan dengan hati-hati. Karena itu penulis memandang perlunya dua langkah besar: (1) menjadikan gerakan penanggulangan TB menjadi inklusif dengan membongkar ekslusivisme sektoral; (2) melibatkan masyarakat secara utuh dalam rangkaian upaya pemberdayaan masyarakat.



PROBLEM PROYEK
Dulu ada saatnya mereka yang mestinya bertanggung-jawab sesuai porsinya dalam penanganan TB lebih memilih sikap “asal bapak senang”. Pada tahun 1990-an pemerhati dan dokter sudah mengingatkan bahwa penyakit TB di Indonesia bukannya sesedikit yang dilaporkan para pejabat.

Kini, Pedoman Nasional Penanggulangan TB terbitan Depkes (2008) mengakui bahwa meruyaknya problem TB di Indonesia disebabkan oleh empat penyebab pokok: (1) kegagalan program TB selama ini; (2) kemiskinan, (3) perubahan demografik, (4) dampak pandemi HIV. Penyebab pertama masih ditambah lagi, antara lain, karena tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan.

Atmosfer politik yang sudah berubah ternyata tidak otomatis diikuti perubahan penyikapan terhadap kegawatan TB secara sosio-kultural. Karena itu penanggulangan TB masih harus dikelola sebagai “proyek” yang memenuhi syarat-syarat tertentu, yakni: kegiatan dirancang secara rapi, meliputi batas kewilayahan tertentu, dengan pelaksana, target capaian dan pendanaan khusus. Kelak saat kegiatan sudah terlaksana secara benar selama waktu tertentu, dan kondisi masyarakat pun siap, “proyek” itu dilepas dan digeser menjadi “program” — yang dicirikan oleh tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk berswadaya. Ini mirip dengan “proyek KB” pada era 1970-an, yang tumbuh sebagai program organik pada 1990-an —ditandai oleh tumbuhnya swakarsa-swadaya masyarakat untuk ber-KB.

Sebagaimana tercantum dalam situs resmi (www.tbindonesia.or.id), salah satu ciri proyek penanggulangan TB di Indonesia adalah “dilaksanakan oleh pegawai pemerintah dari Depkes dan jajaran kesehatan di propinsi dan kabupaten”. Dengan belajar dari kegagalan yang lalu, penanggulangan TB yang inklusif niscaya akan lebih efektif ketimbang yang dilaksanakan secara sektoral-eksklusif seperti itu. Pihak Depkes dan jajarannya mestinya meluncurkan proyek itu dengan pola baru yang lebih merangkul semua pihak dan membagi tanggungjawab secara proporsional.


COMMUNITY TB-CARE
Saat ini proyek yang disebut Community TB Care (Penanggulangan TB Berbasis Masyarakat) tengah berlangsung di 16 provinsi (termasuk DIY) dan 35 kabupaten/kota (termasuk Bantul dan Kota Yogya). Proyek ini dipercayakan kepada tiga komponen sosial yang penting: pemerintah (Depkes), perguruan tinggi (FKM-UI), dan civil society (Aisyiyah). Itu suatu kemajuan yang sebagian menjawab kebutuhan untuk lebih inklusif tadi; khususnya dengan dilibatkannya Aisyiyah sebagai unsur civil society yang berpengalaman dalam pemberdayaan masyarakat selama hampir seabad.

Namun jika dibandingkan dengan Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP), pelibatan masyarakat di sini masih tampak canggung. Community TB Care memang memperoleh kader-kader di tengah masyarakat sebagai tujuan antara. Merekalah garda depan yang bertugas mencari suspect (terduga) penyandang TB di tengah masyarakat, dan membawanya ke HDL (hospital DOTS lingkage) untuk ditangani gratis dengan pendekatan DOTS (directly observed treatment shortcourse). Pendekatan DOTS —yang diterjemahkan menjadi “dengan obat teratur insya Allah sembuh”— mengasumsikan tersedianya pengawas minum obat (PMO) yang militan dan berdedikasi.

Masalahnya, sejauh pelaksanaan di lapangan, peningkatan kapasitas kader masih kurang intensif dan belum menjamin kader melakukan kegiatan secara mandiri. Padahal para kader itulah pemegang dua dari empat peran kunci penanggulangan TB berikut: promotif, preventif, rehabilitatif dan kuratif.

Ambil contoh untuk peran preventif: diperlukan lebih dari sekadar 4-5 kali pelatihan agar menjadi rangkaian tindakan sistematis yang berujung pada rekayasa perilaku. Maka, dibutuhkan fasilitasi yang sifatnya bukan hanya memberi pembekalan teknis, namun juga internalisasi nilai-nilai, agar kader berkiprah secara proaktif dan memadai. Fasilitasi ini (tentunya diberikan oleh fasilitator handal) sangat diperlukan oleh para kader, karena mereka sesungguhnya sedang bekerja melakukan rekayasa sosial — suatu pekerjaan yang tidak sederhana seperti halnya pemberdayaan masyarakat melalui P2KP atau program sejenis lainnya.


[© CATATAN: Tulisan saya ini pernah dimuat di Harian Radar Jogja, 25 Maret 2010. Saya petik sepenuhnya untuk memperoleh tanggapan sebagai bahan diskusi (jika memungkinkan) di sini. Dengan penuh maaf saya perlu sampaikan, bahwa saya tidak bermaksud berlagak atau semacamnya. Saya cuma terketuk oleh upaya program ini, yang dilaksanakan di tengah sikap apatis warga, khususnya di sekitar saya, dan lebih khusus lagi: yang terjadi pada orang-orang yang mestinya bisa menjadi agen perubahan....]

Teori Atlantis dan Pariwisata Kita

PROLOG: Kondisi pariwisata kita terbukti kalah jauh dibanding beberapa negara tetangga. Negeri yang kayaraya ini ternyata rada merudin juga pada sektor ini. Negeri tetangga, Malaysia, malah dengan 'kreatif' mencuri warisan budaya kita lantaran menetes air-liurnya melihat kekayaan Indonesia. Musik angklung dan rumah gadang berupaya diklaimnya; konon sampai mau dipatenkan segala. Di tengah kondisi demikian, ada peluang baru yang 'ditawarkan' oleh Teori Atlantis. Tulisan ini (sebelumnya dimuat di koran Radar Jogja, 27 Februari 2010) semoga bisa menjadi bahan refleksi untuk tindakan berwawasan jangka panjang depan.



AHLI SEJARAH BUMI dari Brazil, Profesor Arysio Nunes Dos Santos, beberapa tahun lalu menerbitkan teori yang menggegerkan tentang legenda Benua Atlantis. Ia mencari jawab seputar tenggelamnya benua berperadaban maju yang oleh filsuf Plato dinamai dengan nama yang diduga menjadi tempatnya sekarang, yakni di Samudra Atlantik. Tapi kajian gurubesar fisika nuklir dan geologi itu selama 30 tahun terakhir mengoreksi pendapat Plato. Atlantis dibuktikan Santos berada di tempat yang sekarang menjadi wilayah Nusantara! Kini, buku Santos, Atlantis, the Lost Continent Finally Found, baru saja diindonesiakan dan diterbitkan (Jakarta: Ufuk, Januari 2010).


KURANG SIGAP
Tahun 2009 merupakan tahun yang ‘sibuk’ bagi bangsa Indonesia. Perhelatan pemilu menyita energi kita begitu rupa. Sehingga, secara kolektif kita seperti lupa kepada hal-hal lain, termasuk mengembangkan cara mendongkrak kunjungan wisatawan mancanegara (wisman). Jika pada 2008 wisman mencapai 6,4 juta jiwa (perolehan devisa $7,5 juta), maka tahun 2009 pemerintah cuma mematok angka 6,5 juta jiwa saja atau meningkat 1,5 persen saja.

Tantangan yang belum optimal diatasi ditambah aspek keselamatan dan keamanan [termasuk bom di Marriot dan Ritz-Carlton] menempatkan Indonesia pada posisi 119 (dari 133 negara dunia) dalam kajian World Economic Forum (WEC) 2009. Ditengok dari sisi lain yang berkaitan dengan business costs of crime and violence, Indonesia duduk di posisi 47. Anehnya, tahun 2010 Dephubpar justru mencanangkan target kunjungan wisman sebanyak 7 juta orang atau meningkat 7% (Antaranews). Target tersebut cukup ambisius. Padahal, posisi daya saing wisata kita, menurut survei WEC, berada pada urutan 81.

Kini soalnya, bagaimana meningkatkan daya saing dengan memanfaatkan potensi dan kemampaun yang ada. Senyampang anggaran untuk promosi meningkat signifikan (dari Rp 260 M menjadi sekitar Rp 460 M) tahun depan, kita melihat perlu diasahnya kesigapan profesional yang tampaknya selama ini tumpul.

Tengoklah bagaimana negara tetangga bertindak. Pada 2006 ketika wisman Indonesia turun, Vietnam malah mengalami lonjakan wisman yang luar biasa, sampai 70% dari tahun sebelumnya. Sedangkan Malaysia betul-betul kian meneguhkan dirinya sebagai negara yang layak disegani — lepas dari kontroversi etis di balik klaim batik, angklung, reog dan tari-tarian milik Indonesia itu. Data dari kelembagaan pariwisata dunia yang penting seperti WEC menunjukkan bahwa Malaysia kedatangan hampir 21 juta wisman untuk 2007, sementara Indonesia hanya 5,5 juta. Pendapatan tahunannya berbeda jauh: Malaysia meraup 14 juta dolar, sementara Indonesia hanya di bawah 40 persennya!

Malaysia memang mengemas pelbagai aspek potensi destinasi wisata bagi wisman. Mulai dari birdwatching tour (pengamatan satwa burung liar di habitatnya) sampai wisata laut dengan memanfaatkan pulau asing milik Indonesia yang potensial sebagai satu alternatif (Pulau Jamur di lepas pantai Riau). Bahkan, Malaysia konon memiliki resor-resor tempat prostitusi yang dapat diperoleh dengan relatif mudah oleh wisman!

Masalahnya, mengapa di Indonesia ada hal penting malah luput dari perhatian? Contoh yang dekat adalah kedatangan Julia Roberts untuk shooting film Eat, Pray, Love di Bali, yang tidak dimanfaatkan bagi kepentingan pariwisata Indonesia. Lihatlah, pemerintah (dan stakeholder pariwisata lainnya) sepertinya diam seribu basa atas momentum taktis itu. Padahal sebagai bintang besar peraih Oscar, hal-ihwal kegiatan Julia Roberts di Bali selalu saja menjadi pembicaraan. Situs pribadi Julia dan perusahaan filmnya setiap hari dilongok orang dalam jumlah luar biasa; pers membahasnya, para fans mencermatinya di seluruh dunia.

Lagi-lagi kita memperoleh pembanding dari apa yang dilakukan negara jiran. Dahlan Iskan, tokoh pers nasional yang kini Dirut PLN, sempat menuturkan betapa pihak Malaysia sangat tanggap saat shooting film Entrapment yang dibintangi Sean Connery dan Chaterine Zeta Jones dilakukan di sana. Pemerintah Malaysia malah bersedia membayar agar Menara Petronas yang mirip Candi Prambanan itu dijadikan salah satu latar penting dalam film Hollywood itu.


GOLONGAN DARAH O
Karena itu diperlukan langkah-langkah terobosan yang inovatif untuk meretas kendala yang memprihatinkan itu. Teori Santos tentang Atlantis, yang semula dianggap menggelikan oleh mereka yang skeptis (hlm 574), dapat dimanfaatkan untuk memulai terobosan ini. Santos memetakan 32 keunggulan komparatif bumi Nusantara yang membuktikan di sinilah lokasi Atlantis dahulu kala.

Teori yang dituangkan dalam terjemahan buku setebal 680 halaman itu sekaligus berpeluang untuk mengangkat warisan kultural prasejarah dan kekayaan alam Indonesia yang melimpah. Ke- 32 ciri mendasar menyangkut eksistensi Atlantis semuanya cocok dengan Nusantara. Bandingkan dengan Peru (hanya cocok 23), Maya-Meksiko (19), Skandinavia/Laut Utara (16)dan Troya/Yunani (6) yang juga dinominasikan sebagai ‘calon’ Atlantis kondisi kini.

Salah satu keunggulan Nusantara adalah adanya “gunung-
[gunung api yang tinggi yang disucikan”. Sehingga ini merupakan entri poin mengangkat, misalnya, wisata pilar-pilar dunia seperti Merapi, Semeru, Gunung Penanggungan atau Gunung Agung, yang dikitari puluhan candi karena dianggap sebagai gunung suci menuju surga. Itu tidak ditemukan di Peru ataupun Troya.

Wisata gunung api dan gempa bumi juga dimungkinkan (seperti yang sudah dilakukan oleh Hawai), lantaran asal-mula tenggelamnya Atlantis dikaitkan dengan aktivitas gunung di tempat Gunung Krakatau kini berada. Masih ada banyak isu bisa diangkat, mulai dari warisan flora kelapa dan nanas, parfum herbal dan rempah-rempah, konstruksi megalitikum, kekayaan sumberdaya logam, sampai golongan darah grup O yang dimiliki ras kita ini.

Tentu kajian tentang itu harus didukung dengan eksplorasi yang komprehensif dan implementatif, yang bisa dimulai dari think-tank dan lembaga penelitian kepariwisataan. Semua ke-32 topik itu bisa dimanfaatkan untuk menggugah kebangkitan pariwisata Indonesia — kalau tidak mau ketinggalan dari negara lain, yang mungkin juga akan melakukan hal yang sama.

Jika Malaysia cerdas memanfaatkan kehadiran bintang lain peraih Oscar Sean Connery, maka kemungkinan besar Malaysia juga akan memanfaatkan Teori Santos bagi kepentingannya. Begitu juga halnya dengan Thailand, yang sama-sama berada di depan Indonesia dalam pembangunan pariwisata. Keduanya juga berhak memanfaatkan Teori Santos ini karena Atlantis dulu kala memang meliputi wilayah yang masih menyatukan daratan Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, Kamboja.

Walhasil, semua tergantung kepada kita. Apakah semua ini akan disikapi positif ataukah Indonesia akan menonton belaka selagi negara-negara lain memanfaatkan Atlantis untuk industri pariwisata mereka. *