Gus Farid

Avatartentang pengharapan dan kegelisahan terhadap "good society" di Indonesia

APA YANG SALAH, ADIK?

aku malu mengaku ini nafsu
semenjak kutahu kau tak bergeming oleh kilau
karena kau hanya hendak hirau
kepada hidup, kepada sesama, kepada yang berada dalam limbo

apa yang salah padaku, adik?

aku malu mengaku ini nafsu
karena di batinku muncul wayang setubuh
sementara kau seperti malaikat tak bertubuh
menatapku dalam gelegak mendamba penuh

apa yang salah padamu, adik?
Menuju Masyarakat Siaga TB


Tingkat penyebaran TB di Indonesia ibarat korupsi saja: berada di urutan ke-3 di antara negara-negara paling banyak terjangkit TB di dunia. Dari setiap 100.000 penduduk Indonesia, TB menjangkiti 110 orang dan menjadi pembunuh urutan ketiga setelah penyakit kardiovaskuler dan sistem respirasi (WHO’s SEA Report 2005). Robert Koch, penemu kuman Mycobacterium tuberculosis pada 24 Maret 1882, mungkin tidak sampai mengira bakal demikian halnya.


POTRET SEKARANG
Estimasi kasus TB baru di Provinsi DIY berjumlah 2.200 per tahun. Di Indonesia sendiri kini ada 600.000 penyandang TB positif, yang menimbulkan dampak yang mereduksi kesejahteraan secara signifikan. Pengidap TB rata-rata mengalami nestapa sakit selama hampir empat bulan dalam setahun dan kehilangan nafkah sekitar seperempat dari yang seharusnya. Angka-angka tersebut secara kolektif akan menggelinding bagai bola salju kalau intervensi yang dilakukan gagal.

Mengingat dampak, sebaran dan karakternya yang lintas status sosial (tua-muda, kaya-miskin, pria-wanita), penanggulangan TB mau tidak mau harus dengan melibatkan masyarakat secara komprehensif. Intervensi dalam bentuk “proyek” yang secara bertahap dikondisikan menjadi “program”, penting dilaksanakan dengan hati-hati. Karena itu penulis memandang perlunya dua langkah besar: (1) menjadikan gerakan penanggulangan TB menjadi inklusif dengan membongkar ekslusivisme sektoral; (2) melibatkan masyarakat secara utuh dalam rangkaian upaya pemberdayaan masyarakat.



PROBLEM PROYEK
Dulu ada saatnya mereka yang mestinya bertanggung-jawab sesuai porsinya dalam penanganan TB lebih memilih sikap “asal bapak senang”. Pada tahun 1990-an pemerhati dan dokter sudah mengingatkan bahwa penyakit TB di Indonesia bukannya sesedikit yang dilaporkan para pejabat.

Kini, Pedoman Nasional Penanggulangan TB terbitan Depkes (2008) mengakui bahwa meruyaknya problem TB di Indonesia disebabkan oleh empat penyebab pokok: (1) kegagalan program TB selama ini; (2) kemiskinan, (3) perubahan demografik, (4) dampak pandemi HIV. Penyebab pertama masih ditambah lagi, antara lain, karena tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan.

Atmosfer politik yang sudah berubah ternyata tidak otomatis diikuti perubahan penyikapan terhadap kegawatan TB secara sosio-kultural. Karena itu penanggulangan TB masih harus dikelola sebagai “proyek” yang memenuhi syarat-syarat tertentu, yakni: kegiatan dirancang secara rapi, meliputi batas kewilayahan tertentu, dengan pelaksana, target capaian dan pendanaan khusus. Kelak saat kegiatan sudah terlaksana secara benar selama waktu tertentu, dan kondisi masyarakat pun siap, “proyek” itu dilepas dan digeser menjadi “program” — yang dicirikan oleh tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk berswadaya. Ini mirip dengan “proyek KB” pada era 1970-an, yang tumbuh sebagai program organik pada 1990-an —ditandai oleh tumbuhnya swakarsa-swadaya masyarakat untuk ber-KB.

Sebagaimana tercantum dalam situs resmi (www.tbindonesia.or.id), salah satu ciri proyek penanggulangan TB di Indonesia adalah “dilaksanakan oleh pegawai pemerintah dari Depkes dan jajaran kesehatan di propinsi dan kabupaten”. Dengan belajar dari kegagalan yang lalu, penanggulangan TB yang inklusif niscaya akan lebih efektif ketimbang yang dilaksanakan secara sektoral-eksklusif seperti itu. Pihak Depkes dan jajarannya mestinya meluncurkan proyek itu dengan pola baru yang lebih merangkul semua pihak dan membagi tanggungjawab secara proporsional.


COMMUNITY TB-CARE
Saat ini proyek yang disebut Community TB Care (Penanggulangan TB Berbasis Masyarakat) tengah berlangsung di 16 provinsi (termasuk DIY) dan 35 kabupaten/kota (termasuk Bantul dan Kota Yogya). Proyek ini dipercayakan kepada tiga komponen sosial yang penting: pemerintah (Depkes), perguruan tinggi (FKM-UI), dan civil society (Aisyiyah). Itu suatu kemajuan yang sebagian menjawab kebutuhan untuk lebih inklusif tadi; khususnya dengan dilibatkannya Aisyiyah sebagai unsur civil society yang berpengalaman dalam pemberdayaan masyarakat selama hampir seabad.

Namun jika dibandingkan dengan Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP), pelibatan masyarakat di sini masih tampak canggung. Community TB Care memang memperoleh kader-kader di tengah masyarakat sebagai tujuan antara. Merekalah garda depan yang bertugas mencari suspect (terduga) penyandang TB di tengah masyarakat, dan membawanya ke HDL (hospital DOTS lingkage) untuk ditangani gratis dengan pendekatan DOTS (directly observed treatment shortcourse). Pendekatan DOTS —yang diterjemahkan menjadi “dengan obat teratur insya Allah sembuh”— mengasumsikan tersedianya pengawas minum obat (PMO) yang militan dan berdedikasi.

Masalahnya, sejauh pelaksanaan di lapangan, peningkatan kapasitas kader masih kurang intensif dan belum menjamin kader melakukan kegiatan secara mandiri. Padahal para kader itulah pemegang dua dari empat peran kunci penanggulangan TB berikut: promotif, preventif, rehabilitatif dan kuratif.

Ambil contoh untuk peran preventif: diperlukan lebih dari sekadar 4-5 kali pelatihan agar menjadi rangkaian tindakan sistematis yang berujung pada rekayasa perilaku. Maka, dibutuhkan fasilitasi yang sifatnya bukan hanya memberi pembekalan teknis, namun juga internalisasi nilai-nilai, agar kader berkiprah secara proaktif dan memadai. Fasilitasi ini (tentunya diberikan oleh fasilitator handal) sangat diperlukan oleh para kader, karena mereka sesungguhnya sedang bekerja melakukan rekayasa sosial — suatu pekerjaan yang tidak sederhana seperti halnya pemberdayaan masyarakat melalui P2KP atau program sejenis lainnya.


[© CATATAN: Tulisan saya ini pernah dimuat di Harian Radar Jogja, 25 Maret 2010. Saya petik sepenuhnya untuk memperoleh tanggapan sebagai bahan diskusi (jika memungkinkan) di sini. Dengan penuh maaf saya perlu sampaikan, bahwa saya tidak bermaksud berlagak atau semacamnya. Saya cuma terketuk oleh upaya program ini, yang dilaksanakan di tengah sikap apatis warga, khususnya di sekitar saya, dan lebih khusus lagi: yang terjadi pada orang-orang yang mestinya bisa menjadi agen perubahan....]

Teori Atlantis dan Pariwisata Kita

PROLOG: Kondisi pariwisata kita terbukti kalah jauh dibanding beberapa negara tetangga. Negeri yang kayaraya ini ternyata rada merudin juga pada sektor ini. Negeri tetangga, Malaysia, malah dengan 'kreatif' mencuri warisan budaya kita lantaran menetes air-liurnya melihat kekayaan Indonesia. Musik angklung dan rumah gadang berupaya diklaimnya; konon sampai mau dipatenkan segala. Di tengah kondisi demikian, ada peluang baru yang 'ditawarkan' oleh Teori Atlantis. Tulisan ini (sebelumnya dimuat di koran Radar Jogja, 27 Februari 2010) semoga bisa menjadi bahan refleksi untuk tindakan berwawasan jangka panjang depan.



AHLI SEJARAH BUMI dari Brazil, Profesor Arysio Nunes Dos Santos, beberapa tahun lalu menerbitkan teori yang menggegerkan tentang legenda Benua Atlantis. Ia mencari jawab seputar tenggelamnya benua berperadaban maju yang oleh filsuf Plato dinamai dengan nama yang diduga menjadi tempatnya sekarang, yakni di Samudra Atlantik. Tapi kajian gurubesar fisika nuklir dan geologi itu selama 30 tahun terakhir mengoreksi pendapat Plato. Atlantis dibuktikan Santos berada di tempat yang sekarang menjadi wilayah Nusantara! Kini, buku Santos, Atlantis, the Lost Continent Finally Found, baru saja diindonesiakan dan diterbitkan (Jakarta: Ufuk, Januari 2010).


KURANG SIGAP
Tahun 2009 merupakan tahun yang ‘sibuk’ bagi bangsa Indonesia. Perhelatan pemilu menyita energi kita begitu rupa. Sehingga, secara kolektif kita seperti lupa kepada hal-hal lain, termasuk mengembangkan cara mendongkrak kunjungan wisatawan mancanegara (wisman). Jika pada 2008 wisman mencapai 6,4 juta jiwa (perolehan devisa $7,5 juta), maka tahun 2009 pemerintah cuma mematok angka 6,5 juta jiwa saja atau meningkat 1,5 persen saja.

Tantangan yang belum optimal diatasi ditambah aspek keselamatan dan keamanan [termasuk bom di Marriot dan Ritz-Carlton] menempatkan Indonesia pada posisi 119 (dari 133 negara dunia) dalam kajian World Economic Forum (WEC) 2009. Ditengok dari sisi lain yang berkaitan dengan business costs of crime and violence, Indonesia duduk di posisi 47. Anehnya, tahun 2010 Dephubpar justru mencanangkan target kunjungan wisman sebanyak 7 juta orang atau meningkat 7% (Antaranews). Target tersebut cukup ambisius. Padahal, posisi daya saing wisata kita, menurut survei WEC, berada pada urutan 81.

Kini soalnya, bagaimana meningkatkan daya saing dengan memanfaatkan potensi dan kemampaun yang ada. Senyampang anggaran untuk promosi meningkat signifikan (dari Rp 260 M menjadi sekitar Rp 460 M) tahun depan, kita melihat perlu diasahnya kesigapan profesional yang tampaknya selama ini tumpul.

Tengoklah bagaimana negara tetangga bertindak. Pada 2006 ketika wisman Indonesia turun, Vietnam malah mengalami lonjakan wisman yang luar biasa, sampai 70% dari tahun sebelumnya. Sedangkan Malaysia betul-betul kian meneguhkan dirinya sebagai negara yang layak disegani — lepas dari kontroversi etis di balik klaim batik, angklung, reog dan tari-tarian milik Indonesia itu. Data dari kelembagaan pariwisata dunia yang penting seperti WEC menunjukkan bahwa Malaysia kedatangan hampir 21 juta wisman untuk 2007, sementara Indonesia hanya 5,5 juta. Pendapatan tahunannya berbeda jauh: Malaysia meraup 14 juta dolar, sementara Indonesia hanya di bawah 40 persennya!

Malaysia memang mengemas pelbagai aspek potensi destinasi wisata bagi wisman. Mulai dari birdwatching tour (pengamatan satwa burung liar di habitatnya) sampai wisata laut dengan memanfaatkan pulau asing milik Indonesia yang potensial sebagai satu alternatif (Pulau Jamur di lepas pantai Riau). Bahkan, Malaysia konon memiliki resor-resor tempat prostitusi yang dapat diperoleh dengan relatif mudah oleh wisman!

Masalahnya, mengapa di Indonesia ada hal penting malah luput dari perhatian? Contoh yang dekat adalah kedatangan Julia Roberts untuk shooting film Eat, Pray, Love di Bali, yang tidak dimanfaatkan bagi kepentingan pariwisata Indonesia. Lihatlah, pemerintah (dan stakeholder pariwisata lainnya) sepertinya diam seribu basa atas momentum taktis itu. Padahal sebagai bintang besar peraih Oscar, hal-ihwal kegiatan Julia Roberts di Bali selalu saja menjadi pembicaraan. Situs pribadi Julia dan perusahaan filmnya setiap hari dilongok orang dalam jumlah luar biasa; pers membahasnya, para fans mencermatinya di seluruh dunia.

Lagi-lagi kita memperoleh pembanding dari apa yang dilakukan negara jiran. Dahlan Iskan, tokoh pers nasional yang kini Dirut PLN, sempat menuturkan betapa pihak Malaysia sangat tanggap saat shooting film Entrapment yang dibintangi Sean Connery dan Chaterine Zeta Jones dilakukan di sana. Pemerintah Malaysia malah bersedia membayar agar Menara Petronas yang mirip Candi Prambanan itu dijadikan salah satu latar penting dalam film Hollywood itu.


GOLONGAN DARAH O
Karena itu diperlukan langkah-langkah terobosan yang inovatif untuk meretas kendala yang memprihatinkan itu. Teori Santos tentang Atlantis, yang semula dianggap menggelikan oleh mereka yang skeptis (hlm 574), dapat dimanfaatkan untuk memulai terobosan ini. Santos memetakan 32 keunggulan komparatif bumi Nusantara yang membuktikan di sinilah lokasi Atlantis dahulu kala.

Teori yang dituangkan dalam terjemahan buku setebal 680 halaman itu sekaligus berpeluang untuk mengangkat warisan kultural prasejarah dan kekayaan alam Indonesia yang melimpah. Ke- 32 ciri mendasar menyangkut eksistensi Atlantis semuanya cocok dengan Nusantara. Bandingkan dengan Peru (hanya cocok 23), Maya-Meksiko (19), Skandinavia/Laut Utara (16)dan Troya/Yunani (6) yang juga dinominasikan sebagai ‘calon’ Atlantis kondisi kini.

Salah satu keunggulan Nusantara adalah adanya “gunung-
[gunung api yang tinggi yang disucikan”. Sehingga ini merupakan entri poin mengangkat, misalnya, wisata pilar-pilar dunia seperti Merapi, Semeru, Gunung Penanggungan atau Gunung Agung, yang dikitari puluhan candi karena dianggap sebagai gunung suci menuju surga. Itu tidak ditemukan di Peru ataupun Troya.

Wisata gunung api dan gempa bumi juga dimungkinkan (seperti yang sudah dilakukan oleh Hawai), lantaran asal-mula tenggelamnya Atlantis dikaitkan dengan aktivitas gunung di tempat Gunung Krakatau kini berada. Masih ada banyak isu bisa diangkat, mulai dari warisan flora kelapa dan nanas, parfum herbal dan rempah-rempah, konstruksi megalitikum, kekayaan sumberdaya logam, sampai golongan darah grup O yang dimiliki ras kita ini.

Tentu kajian tentang itu harus didukung dengan eksplorasi yang komprehensif dan implementatif, yang bisa dimulai dari think-tank dan lembaga penelitian kepariwisataan. Semua ke-32 topik itu bisa dimanfaatkan untuk menggugah kebangkitan pariwisata Indonesia — kalau tidak mau ketinggalan dari negara lain, yang mungkin juga akan melakukan hal yang sama.

Jika Malaysia cerdas memanfaatkan kehadiran bintang lain peraih Oscar Sean Connery, maka kemungkinan besar Malaysia juga akan memanfaatkan Teori Santos bagi kepentingannya. Begitu juga halnya dengan Thailand, yang sama-sama berada di depan Indonesia dalam pembangunan pariwisata. Keduanya juga berhak memanfaatkan Teori Santos ini karena Atlantis dulu kala memang meliputi wilayah yang masih menyatukan daratan Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, Kamboja.

Walhasil, semua tergantung kepada kita. Apakah semua ini akan disikapi positif ataukah Indonesia akan menonton belaka selagi negara-negara lain memanfaatkan Atlantis untuk industri pariwisata mereka. *

Hukum (Hanya) untuk Rakyat Kecil

BERTURUT-TURUT PUBLIK DI INDONESIA disuguhi pertunjukan ala parodi tidak lucu selama satu-dua minggu terakhir. Yang menjadi lakon adalah orang-orang kecil, yang sebelumnya tak tercatat dalam Who’s Who manapun juga. Mbah Minah, seorang perempuan tua, dihadapkan ke Pengadilan Negeri Purwokerto lantaran mencuri 3 (tiga) biji kakao. Di Batang, kota pantai Jawa Tengah, itu empat jiwa warga jelata Manisih, Sri Suratmi dan dua anak-anak, dibawa ke meja hijau karena didakwa mengutil kapuk randu. Di Kediri, dua orang jelata paruh baya bernama Kholil dan Basar diseret ke pengadilan karena mencuri sebutir semangka di ladang lantaran haus.

Tiga kasus serupa di tiga kota berbeda sesungguhnya hanya merupakan puncak gunung es yang di bawah permukaan kita belum tahu seberapa besarnya. Tapi sebagai gejala di tengah masyarakat, kita layak prihatin terhadap kemungkinan magnitudenya. Kita sangat layak kuatir, jangan-jangan yang tidak tampak jauh lebih besar.

Melihat kasus itu saya tidak menjadi bangga seraya meyakinkan diri sendiri bahwa hukum sudah ditegakkan dengan tidak pandang bulu. Maaf, tidak. Dengan merenungkan dan mengeksplorasi semua berita di media massa, anehnya kita bertambah yakin bahwa ketiga kasus itu merupakan sebentuk konfirmasi yang nyaris sahih tentang mentalitas korup aparat penegak hukum. Ya, itulah yang kita peroleh, dan bukannya keyakinan bahwa hukum sudah ditegakkan.

Tidak ayal, kita sampai berpikir kalau orang-orang dalam ketiga kasus itu cukup punya duit, berkas mereka niscaya tidak akan sampai ke Kejaksaan karena sudah bisa ‘dimentahkan’. Kalau toh berlanjut sampai Kejaksaan, itu juga bisa dihadang dengan sejumlah rupiah sehingga tidak akan sampai ke meja hakim. Anggodo menjadi contoh preseden yang begitu jelasnya.

Mereka semua sudah jelas miskin harta. Justru karena itu maka aparat ‘buaya’ akan menjadikannya bulan-bulanan sikap deksura mereka. Untuk diketahui, yang menangkap Kholil-Basar adalah adik dari si pemilik ladang semangka, yang notabene seorang aparat kepolisian. Kholil di layar televisi mengaku dihajar oleh (para) ‘buaya’ itu sebelum atau setelah keluarganya gagal dimintai uang. Tidak sulit meyakini ucapannya, karena penyiar televisi —yang bertanya secara telewicara— berkali-kali menyatakan betapa serius konsekuensi pernyataan Kholil itu. Saat itu Kholil bergeming.

Dan Anda pun berhak berprasangka, setelah siaran RCTI (26/11) itu kelak Kholil akan mencabut pernyataan tadi dalam suatu siaran pers. Jika sebelumnya dia sudah pernah dihajar, akan lebih mudah membayangkan dia akan mengalami lagi hal demikian, meskipun mungkin dalam bentuk yang lebih ‘manusiawi’ sesudah siaran televisi tadi.

Setelah upaya kriminalisasi KPK oleh buaya dan biawak yang memalukan itu, di mana sepanjang pemberitaan pers Indonesia memaparkan beberapa variasi perilaku tercela para oknum buaya dan biawak; maka kita jadi mengira-ngira yang lebih jauh lagi. Kita jadi bisa menduga-duga mulai dari rekayasa kasus, penyusunan BAP yang salah prosedur, penyadapan, mematai gerak-gerik, penggunaan uang pelicin, campurtangan makelar kasus (markus), sampai betapa saktinya sosok markus seperti Anggodo itu. Karena itu cukup alasan bagi kita untuk belajar melakukan ekstrapolasi (dengan bekal temuan kolektif kita dari ingar-bingar kasus buaya versus cicak itu) terhadap ke-3 kasus remeh-temeh dari tiga kota tersebut.


INILAH HASIL EKSTRAPOLASI ITU: Di balik kasus orang-orang sengsara tadi —Minah, Manisih, Kholil—, di seberang mereka pasti berdiri pihak yang jauh lebih kuat secara status-ekonomi-sosial. Kepada mereka inilah buaya berpihak, dan mereka yang jelata itu dipinggirkan.

Siapa yang berseberangan dengan Minah, nenek tua yang mengambil kakao tiga biji itu? Tidak lain adalah salah satu PTPN di Purwokerto, salah satu BUMN Departemen Pertanian yang sudah tentu dari sudut penyidik jelas lebih pamor, lebih ‘royal’, dan “sesama pemerintah”. Kesemua itu sudah pasti mereduksi prinsip imparsialitas. Tapi apa mau dikata? Pihak seberang Minah mungkin memiliki counter argument yang tentu sangat kuat, mulai dari “Minah itu pencuri langganan”, “supaya para pencuri yang lain kapok”, atau “untuk menimbulkan efek jera, karena sesepele apapun ternyata diseret ke pengadilan.”

Siapa pula yang berseberangan dengan Manisih? Lihat saja: sebuah perseroan terbatas, tingkat lokal yang cukup besar. Bagi PT “S” orang-orang seperti Manisih, Sri Suratmi dan dua bocah itu mungkin sudah terlalu merepotkan; karena merecoki “aset pabrik secara kecil-kecilan tapi terus berulang”, dst.

Yang berseberangan dengan Kholil, yakni Darwati si pemilik semangka, adalah kakak dari seorang anggota Polri. Kita bisa membayangkan bagaimana Darwati yang jengkel (lantaran dalam hari-hari sebelumnya ladang semangkanya ludes) itu memicu ketegasan sikap si adik, yang tidak mau kompromi terhadap Kholil meskipun dia mengaku tidak tahu menahu dengan pencurian semangka di ladang itu sebelumnya. Sudah minta-minta ampun sekalipun aparat tetap bertindak tegas menegakkan aturan; kalau pencuri ya pencuri; tetap harus dihukum.

Meskipun berada di tiga kota berbeda, saya bisa membayangkan bagaimana kira-kira pihak pengadu, pihak seberang, yang SES-nya lebih tinggi itu berpikir. Begini kira-kira: “Mereka memang harus dibuat jera. Hukuman kepada mereka itu akan menjadi preseden yang bagus bagi para calon maling lainnya, sehingga akan urung mencuri manakala ingat nasib Minah, Manisih atau Kholil. Itulah cara terbaik untuk memberi pelajaran. Toh itu juga berarti penegakan hukum yang berlaku positif di Indonesia.”

Sampai di sini, saya kira akan menarik kalau kita sempat beriskusi dengan penegak hukum yang kelewat rajin itu. Sementara kepada para ‘terdakwa’, saya menyarankan kalau kelak mereka dihukum juga, mereka hendaknya naik banding, kalau perlu sampai kasasi ke Mahkamah Agung.*

Omnivora


Manusia memang pemakan segala.

Seorang blogger menulis tentang kuliner ulat sagu di Papua, yang diolah menjadi sate. Wah, tampaknya lezat juga.

Sate memang mudah ditemukan di mana-mana. Nyaris seperti rumah makan Padang. Umumnya sate kambing atau sapi atau ayam. Yang terakhir ini dipopulerkan oleh saudara-saudara kita dari Madura.

Di Yogyakarta menu sate biasanya dilengkapi dengan alternatif sate non-bakar, yang disebut tongseng, yang sesungguhnya adalah ca daging. Ini agak berbeda dengan di Jawa Timur, misalnya di kota-kota seperti Surabaya, Kediri, Tulungagung atau Madiun, Kalau di kota-kota tadi alternatif menunya adalah gulai atau kari, hampir sama dengan di kota-kota Jawa Tengah.

Di Kota Pelajar ini sate dan tongseng juga punya raw material beragam. Ada yang jelas halal dan thayib, juga yang halal tetapi kurang biasa; lalu yang samar-samar; yang subhat, sampai yang betul-betul haram.


Manusia memang pemakan segala.

Sekadar eksplorasi ringan, saya menemukan pelbagai warung-warung unik.
Di dekat kantor saya, Lembaga Ombudsman Swasta (LOS), ada sate ular. Warungnya sederhana tetapi konon banyak juga penggemar fanatiknya. Di Jl Parangtritis (dalam bahasa gaul disebut Paris) ada sate kuda ― juga di beberapa jalan lain.
Ke selatan 5-6 kilo kita bisa menemukan Resto Pulo Segaran yang menyediakan menu aneh dan unik, mulai dari sate burung emprit (pipit, bondol), angsa, anak ayam (kuthuk) sampai bajing atau tupai.

Masih di arah selatan, yakni jalan menuju Pantai Samas Km 6, ada juga sate dan tongseng codot atau kelelawar pemakan buah. Anak sekolah mengenal itu dari keluarga Pteropodiniae, tetapi saya tidak tahu jenis apa yang dijajakan itu. Mungkinkah itu jenis Eonycteris spelaea yang sangat membantu manusia dalam hal penyerbukan pohon randu, petai, durian dan pelbagai tanaman komersial lainnya? Ataukah itu Cynopterus brachyotis? Tetapi apapun, codot-codot itu sesungguhnya merupakan mitra manusia karena ‘kinerja’ penyerbukannya!

Baru-baru ini, sepulang bertamu ke Bupati Gunungkidul Suharto, saya dan teman-teman mampir ke warung Sego Abang yang menyajikan makanan khas desa. Kami memang kekenyangan menyantap lalaban, wader goreng dan aneka sayur lodeh yang pedas-lezat-cita. Di situ pula kami ketemu dengan belalang goreng. Saya tidak yakin apakah itu belalang hijau Oxya japonica, Stenocatantops splendens atau Locusta migratoria, tetapi setahu saya itu belalang hama padi.

Terus terang, itu bukan kali pertama saya memakan serangga seperti belalang. Dulu ketika kanak-kanak, bersama saudara-saudara sepupu yang dipimpin Pakdhe di belakang rumah Eyang di Pare, Kediri, kami mencari gangsir. Serangga sejenis jangkerik yang bertubuh tambun itu biasanya kami sate atau digoreng sangrai dengan minyak.


Manusia memang pemakan segala.

Warga kota Kediri pada tahun 1982-an sempat membuat jejak kuliner yang fenomenal. Saat itu, entah siapa yang menjadikan marak, ramai dipiara dan dimasak lalu disebarkan kemana-mana penganan keripik bekicot. Ya, bekicot. Hampir di seluruh telatah Kediri saat itu seperti terjangkit demam memelihara bekicot, untuk dikirim ke seluruh Jawa ― bahkan ke Luar Jawa.

Hampir sewaktu dengan itu, orang Kediri juga berkreasi membuat penganan baru. Kali ini mereka mengolah dan membuat awet buah pisang dengan menjadikannya getuk, dikenal sebagai getuk pisang. Penganan ini melengkapi tahu takua, tahu kuning yang awet, yang juga dikenal sebagai buah tangan dari kota bekas ibukota Kraton Daha itu.

Jika di Prancis konon bekicot atau escargot itu dimuliakan dan dihargai mahal, maka sebaliknya saya termasuk yang tidak doyan menyantap. Saya memang pernah makan lantaran dikibuli saudara sepupu, yang menyebut keripik bekicot dengan keripik paru. Tetapi selain itu, saya tetap ogah bekicot ― sampai kini. Jikalau tidak merasa jijik, saya tetap menganggap bekicot seperti orang alim menyikapi makanan yang tidak dia inginkan: “Saya tidak biasa.”


Di Yogyakarta juga cukup mudah ditemukan penganan atau menu haram ―dari sudut pandang Muslim―, misalnya babi dan anjing. Untuk anjing, supaya lebih enak konon orang tidak menyembelihnya dengan belati, melainkan dengan memasukkan ke dalam karung, lalu menggebukinya sampai mati. Soal derita atau hak-hak hewan, itu di luar pertimbangan mereka. Hal itu supaya darah anjing tidak tertumpah keluar, sehingga lebih gurih atau mujarab.

Mujarab? Ya, karena makanan itu ―termasuk yang aneh-aneh seperti codot dan bajing― disantap makhluk yang bernama manusia karena adanya alasan rada berbau mitos: Merupakan obat untuk penyakit atau sebagai afrodisiak.


Manusia memang pemakan segala.

Namun jika Anda seorang Muslim, atau bermaksud mencari makanan yang halal dan baik, datanglah saja ke Jogja Halal Food Centre, hanya 10 menit dari kampus UGM. Alamatnya di Jl Damai atau Jalan Kaliurang (biasa disingkat Jakal) Km 10, Yogyakarta.

Di rumah makan kakak saya, Mulyono Makhasi, mantan pegawai Depsos itu, Anda akan menemukan pelbagai menu yang bukan hanya dinyatakan halal oleh owner namun juga memperoleh sertifikasi MUI. Tersedia beragam pilihan menu, mulai dari yang khas Jawa, pelbagai soto, masakan Menado, dan entah apa lagi.

Jika Anda sampaikan bahwa Anda datang ke Jogja HFC karena membaca blog ini, insya Allah yang akan Anda peroleh bukan saja makanan yang halal dan thayib, tetapi juga pertemanan dan silaturahmi. ****

Intim Posesif & Emoh Posesif di Malaysia

Kisah dua perempuan Indonesia di Malaysia menunjukkan betapa sulitnya mempercayai manusia.

Cerita ini menyangkut dua anak manusia: seorang bernama Manohara, masih belia; dan Siti Hajar, perempuan baya. Tulisan ini berasumsi bahwa berita-berita tentang keduanya akhir-akhir ini benar adanya. Manohara menikah dengan anak raja Kelantan bernama Muhammad Fakhry; Hajar bekerja sebagai pembantu rumahtangga pada seorang Cina janda bernama Michelle.

Kedua perempuan Indonesia itu tidak pernah bertatap muka; keduanya hanya bertemu dalam kesamaan nasib: disia-siakan orang yang semula menjadi harapannya.


Tentang si Belia

Si gadis menikah dengan Fakhry. Semula mungkin dengan baik-baik saja; tetapi mungkin juga bukan. Kita tidak bisa pasti apakah seperti kisah Cinderella ataukah lebih mirip diperkosa. Tetapi sesudahnya Manohara mengaku mengalami hari-hari yang berat sebagai istri, yang diperlakukan sebagai sekadar barang. Lalu, pada 31 Mei ia lolos dari kungkungan suaminya, saat berada di satu hotel mewah di Singapura.

Kejadian lolosnya Manohara itu hanyalah lanjutan dari kisah berminggu-minggu sang ibu bergelut dengan pelolosan diri dari (konon) woman traficking, yang dialami sosok kelas menengah. Dugaan perdagangan manusia memang meruyak di kalangan aktivis perempuan. Satu versi menyebut bahwa semula si ibu tidak menyadari hal demikian yang terjadi. Pada saat dia ngeh, dia pun kaget, lalu hibuk mencari perhatian publik.

Manohara dalam wawancara eksklusif dengan stasiun TV-One, setelah lolos di hotel mewah penuh fasilitas di Singapura, bercerita tentang detil pelariannya dari pelbagai rape, sexual harrasment, penyiksaan dan penyiletan tubuhnya oleh sang suami. Dia masih tampil sebagai selebritas; menjaga penampilan, dengan tutur kata yang agak ‘akademis’, cerdas, wajah cerah, tidak terlalu tampak susah.

Namun apa yang dipaparkannya menyembulkan kengerian. Kengerian terhadap kemungkinan buruk pemegang kekuasaan; yang menyebabkannya seperti kebal hukum; bergelimang perlakukan khusus dibanding anak negeri lainnya. Anak raja Kelantan itu, dengan wajah yang tidak terlalu cerdas, dengan mulut mengatup lemah, tampak santun di muka umum ― menjadi serigala di baliknya. Terlebih dalam kondisi pers Malaysia yang seperti tersensor rapi, yang menyebabkan publik tidak tahu-menahu tentang kisah-kisah tak sedap di balik dinding istana. [Ya, baru belakangan pers Malaysia memberi perhatian tentang kasus ini.]

Itulah sebabnya Manohara hanya dikenal sebagai gadis beruntung, sebagai Cik Puan Temenggung yang ayu, yang menikah dengan pangeran baik-baik idaman perempuan sahaya. Publik Malaysia sama sekali tidak menganggapnya sebagai kurban kekerasan dalam sekapan rumahtangga istana. Pers Malaysia sepenuhnya bisu; terpasung kekuasaan dinasti ala tribalisme; mandul dari sikap kritis. Baru belakangan Manohara menyebabkan berhembus angin baru berita lain dari sana, yang meruapkan kisah tak sedap bergelimang sahwat di istana.

[Dalam koteks ini, Istana Kelantan pasti akan mati-matian membela diri dengan pelbagai cara. Sebab, pertaruhannya sungguh luar-biasa. Kita akan saksikan nanti. Insya Allah, dalam waktu yang tidak terlalu lama.]


Tentang si Perempuan Baya

Nama Hajar melengkapi drama-drama tragedi perempuan pencari kerja di Arab dan Malaysia. Ada banyak nama, terakhir adalah Eci dan Nuraini setelah nama Hajar disebut-sebut. Mereka melengkapi kisah TKW ― termasuk Manohara, itu kalau dia bisa digolongkan ‘pencari kerja’.

Sudah tiga tahun Hajar, perempuan dari Jawa Barat, itu berada di Malaysia dan selama itu pula ia menanggungkan deraan penganiayaan fisik dan psikis dari majikannya sesama perempuan. Luka-luka melepuh akibat guyuran air panas dan lebam akibat pukulan di tubuhnya ―yang sudah pula dikonfirmasi dokter― menjadi bukti bahwa manusia bisa jadi lebih berbahaya dibanding hewan buas yang biasanya dihindari.

Hajar dipermak oleh (gawatnya) seorang perempuan pula, Hau Yuang Tyng yang sebelumnya dikenal sebagai Michelle. ‘Output’ dari perlakuan terhadapnya kelihatan betul kalau Anda melihat perempuan dari Kampung Lio Wetan, Limbangan Barat, Garut, itu. Televisi menyangkan gambarnya: Mukanya lebam, kulit leher dan punggung tampak cedera bekas siraman air panas. Luka-luka lainnya tampak di sana-sini, yang konon semua karena ulah sang majikan.

Bahkan luas dilansir media, janda berumur baya itu tidak pernah bisa mengirimkan uang kepada kedua anaknya di kampung, lantaran tidak pernah menerima gaji.


Kucing dan Cerpelai

Kisah kedua perempuan itu sama tetapi berbeda.

Relasi Manohara dengan suaminya memperlihatkan relasi “intim yang posesif”; sementara Hajar dan majikannya adalah relasi “emoh tetapi juga posesif”. Kedua kurban sama-sama “dibendakan” oleh sang tuan, diaku sebagai miliknya, diperlakukan sesuai instink primitif masing-masing, seumpama kucing mempermainkan tikus atau cerpelai mempermainkan ular.

Saya melihat sejumlah faktor berjalin-berkelindan dalam kasus ini, yakni: (1) orientasi kepada pencarian kekayaan yang menggerakkan kedua perempuan pergi ‘merantau’; (2) kekuasaan yang tanpa daya kritis dan tanggungjawab; (3) etika pribadi yang dimanipulasi demi kepentingan primitif berjangka pendek; (4) pers yang mandul, tidak mengembangkan kontrol organik; (5) Indonesia Embassy yang kelewat lamban, gagap, tidak memiliki kehormatan diri untuk melindungi warganya sendiri.

Saya memahami peristiwa itu karena hal berikut: para penganiaya itu, sadar atau tidak, didorong oleh persepsi bahwa perbuatannya tidak akan dipertanggung-jawabkan. Tidak di sini, tidak pula kelak di kemudian hari.

Saya memang hanya mengaduh lewat tulisan ini ― Nabi menyebut tindakan saya ini “selemah-lemah iman” karena tidak berupaya lebih keras lagi.

Saya memang hanya mengaduh dan menangisi manusia. *

Solusi Taktis Harapan Semua

SITI Khaiyarah (4 tahun) sudah kembali ke Sang Khalik. Bocah itu meninggal setelah beberapa hari menanggungkan derita akibat ketumpahan kuah panas, saat lapak bakso bapaknya digusur Satpol PP Surabaya. Dia merupakan dampak ke sekian dari paradigma ‘keblinger’ penanganan PKL.

Keblinger? Apanya yang keblinger?

Ya, sampai hari ini nyaris semua orang mengidap pandangan yang salah terhadap PKL.
Mulai dari pengamat, pemberdaya masyarakat sampai birokrasi umumnya memiliki kesamaan dalam memandang keberadaan PKL di perkotaan Indonesia.

Nyaris semuanya melihat persoalan sosial yang muncul dari (dan berujung pada) PKL itu tidak dalam kacamata yang utuh. Bahkan sejumlah birokrat dan oknum DPRD melihat PKL ibarat “musuh ketertiban”. Akibatnya, penanganan terhadap masalah yang muncul dari situ pun keliru juga.

Apanya sih yang salah dalam pandangan kebanyakan orang terhadap PKL itu? Mungkinkah itu dibenahi? Di bawah ini jawaban dari perspektif yang berbeda.

Selama ini PKL dilihat seolah sendirian berada di ruang publik yang hampa, yang tidak ada pihak-pihak lain di situ. Fakta itu , entah bagaimana menutup mata banyak pihak, sama sekali melupakan fakta lain bahwa PKL tidak bakalan ada jika tidak ada yang mendukung eksistensinya, yakni pembeli. Kalau ada pedagang kakilima, maka di situ pasti juga ada pembeli kakilima. Secara eksistensial mereka saling menguatkan, PKL itu saudara kembar dengan pembeli kakilima.

Manakala mencoba mengatasi dampak ikutan dari adanya PKL seraya melupakan fakta adanya pembeli kakilima, maka solusi yang diajukan pun pastilah sumir, sepenggal-sepenggal, tidak kontekstual, dan tidak adil.



LIHAT saja apa yang terjadi selama ini: PKL dikejar-kejar petugas Satpol PP atau tramtib atau entah apa namanya , yang didukung Perda atau aturan produk birokrasi yang (seolah) legitimate. Lapak mereka , yang tidak lain adalah modal mereka bekerja, disita; lalu rusak, kalau tidak bisa ditebus pada waktunya. Kalau bisa ditebus pun, harganya lumayan tinggi; yang notabene menjadi cost yang akan membebani mereka seterusnya.

Jika lapak dan barang-barang itu diperoleh dari utang, lalu ditambah dengan ongkos menebus barang-barang itu ke petugas, maka kian lama PKL yang tergusur itu kian terjerat utang. Mereka akan bertahan dalam jepitan utang dan bunga dan beban biaya lainnya itu begitu rupa , sehingga akumulasi kerumitan itu akan melanggengkan kemiskinan atas mereka! Sungguh social cost yang harus ditanggung masyarakat dari kebijakan yang keliru itu begitu tingginya.

Ataukah memang kita sedang melakukan pemiskinan? Itulah guyonan di kalangan pemerhati: Siapa tahu karena Undang-Undang Dasar menyebut “fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”, maka ada pihak-pihak yang ingin mempelesetkan makna “dipelihara” itu menjadi “melestarikannya”, jangan sampai berkurang adanya!



COBA, jika paradigmanya dibalik: Jika Anda bermaksud menyingkirkan PKL dari satu trotoar, mulailah dari mengatur pembeli kakilima. Mula-mula peringatkan pembeli itu bahwa mereka akan didenda Rp50 ribu (atau angka yang pantas lainnya) jika berbelanja di situ. Selama beberapa waktu bolehlah Anda agak lunak, penuh toleransi terhadap mereka. Tetapi nanti ada saatnya Anda harus tegas, tanpa kompromi, terhadap pembeli kakilima yang melanggar.

Kemudian, lihatlah apa yang terjadi.

Jika pembeli kakilima sekali-dua menemukan ketegasan Anda dalam penegakan denda tadi, maka tidak akan memakan waktu lama trotoar Anda bakal dijauhi pembeli kakilima untuk seterusnya ibarat menjauhi ulat gatal. Sampai di sini, apakah Anda kira PKL masih akan bertahan di situ? Ya, jelas tidak-lah yauw!

PKL yang sepi pembeli, tidak mungkin bertahan di trotoar Anda sehari lebih lama lagi. Mereka pasti akan pergi mencari tempat yang lebih ‘aman’ untuk berjualan. Modal bisnis mereka tidak perlu diutik-utik. Sehingga mereka juga tidak perlu terbebani ongkos macam-macam. Mereka tidak perlu dikejar-kejar, didenda, dibentak-bentak, digaruk lapaknya, dihinakan, disakiti.

Tidak perlu muncul duka-derita bocah seperti Siti Khaiyarah yang sedang lucu-lucunya itu lagi.



MUNGKIN sejumlah oknum akan tidak nyaman dengan pergeseran seperti itu disebabkan jaminan bagi pemeliharaan atas kepentingannya menjadi terganggu. Oknum tramtib yang nakal, yang selama ini menikmati tebusan-tebusan atas barang yang disita, atau menikmati ongkos “tutup mata” seolah tidak melihat ada PKL di situ, atau yang suka menikmati 'rasa berkuasa' dengan mengejar-ngejar PKL, sudah pasti gundah karena tidak lagi berbuat curang dan sewenang-wenang lagi.

Namun, paradigma ini tentu lebih disukai PKL (juga orang-orang berbudi lainnya) karena bukan hanya manusiawi, tetapi juga memungkinkan mereka untuk mengasah kepekaan bisnis. Jika paradigma ini diterapkan, pada awalnya mungkin PKL yang bersangkutan hanya akan mencari lokasi-lokasi strategis saja; tetapi kelak , manakala sadar bahwa mereka harus melihat dari sudut pandang pembeli, mereka akan tercerahkan oleh prinsip market concern: bahwa berbisnis itu mestilah memiliki kepekaan terhadap bagaimana pasar merespon apa yang ditawarkannya dan membuka ruang 'dialogis' antara pembeli-penjual.

Market concern itu akan menggantikan yang selama ini mereka anut, yakni, saya sebut saja, “tramtib concern” alias cuma memperhitungkan bagaimana “merespon” maunya Satpol PP atau tramtib atau entah petugas apa namanya itu. Sebab, terdapat alasan logis lain, bahwa perkembangan masyarakat tidak akan tertolong oleh pendekatan “tramtib concern” itu karena tiga hal: (1) pelanggengan pola pikir bahwa pejabat atau birokrat itu penguasa terhadap rakyat; (2) sifatnya yang korup dan tidak mendidik orang berbisnis secara benar; (3) tidak mengasah sikap kewirausahaan yang cermat melihat kebutuhan pembeli dan menyikapinya secara positif.

Nah, masih adakah yang bertahan di jalan yang keblinger? *

//credit foto: nurlaili-okezone//