Gus Farid

Avatartentang pengharapan dan kegelisahan terhadap "good society" di Indonesia

Gelatik di Yogya

Sampai tahun 1950an burung gelatik Jawa (Padda oryzivora) sangat mudah ditemukan dalam kelompok-kelompok besar di pedesaan Jawa. Kini burung hama padi yang warnanya ngejreng itu kian sulit ditemukan. Kalau Anda melongok MacKinnon (1995), disebutkan itu terjadi karena penangkapan massal untuk binatang piaraan. Tetapi pemerhati burung yang lain, van Ballen, menduga itu terjadi karena efisiensi penggilingan padi yang tidak lagi memberikan kesempatan kepada burung-burung itu untuk mengambil padi dengan mudah.

Apapun halnya, keberadaan gelatik Jawa ditilik dari segi konservasi memang mulai bermasalah. Jika dulu 10-an tahun lalu di Ngadiluwih, Kediri, Jawa Timur, kampung halaman saya, masih amat mudah kita menemukan burung kebiruan berparuh merah berpipi putih itu beramai-ramai melintasi bulak, kini menemukannya dalam kelompok kecil saja sudah merupakan surprise.

Apalagi di kota-kota besar, di kota seperti Yogya pun sudah sulit. Di Bantul saja, setiap melintasi persawahan ―yang cukup banyak saya temukan dalam coverage wilayah kegiatan saya― saya selalu berharap menemukan burung itu melintas dalam pandangan. Dan saya selalu saja kecewa. [Tetapi di Sragen, tidak demikian halnya ― soal ini akan saya ceritakan lain kali. Insya Allah.]

Makanya ketika diberitakan di koran-koran akhir April lalu bahwa di Hotel Melia Purosani, sebuah hotel mewah di provinsi ini, ditemukan pepohonan tempat berbiak secara alami bagi rice finch ini, para pemerhati seperti bersorak. Tidak terbayangkan sebelumnya kalau wilayah Kotamadya Yogyakarta memiliki ‘kemewahan’ alami seperti itu. Di Bantul, Gunungkidul, Kulon Progo atau Sleman sekalipun orang masih berharap menemukan gelatik ― tetapi tidak di Kota. [Kang Hery, si “wagiman” alias walikota gila taman yang memimpikan Kota Yogyakarta yang kian peduli lingkungan dan pro-konservasi itu, tentu gembira karenanya.]

Di sini, melalui blog ini, bolehlah saya ikut merayakan itu ― meski rada telat. Saya memang ketinggalan informasi tentang perburungan selama 2-3 tahun terakhir ini [yah, alasannya sih kesibukan kerja ― klasik bagi birdwatcher amatir :-)]. Sebab, ada informasi di Puslit LIPI, Bogor, gelatik Jawa sudah ditangkarkan sejak 2 tahun lalu.

Sekadar berbagi, di halaman ini saya scan ilustrasi dari buku klasik perburungan, Birds of Malaysia. (Gambar warna berasal dari McKinnon, Burung-Burung di Jawa dan Bali.) Buku karya Delacour terbitan 1947 itu merupakan salah satu buku tertua tentang burung-burung di Indonesia, meskipun judulnya menyebut negara tetangga, Malaysia. Saya kesengsem dengan goresan ilustratornya ―namanya Earl L Poole― yang serasa hidup, meski ditorehkan dengan mantap, tandas, bold. *

Da Vinci dan Angels bagi Vatikan

Diberitakan bahwa film Angels-Demons ditanggapi dingin oleh Vatikan. Beberapa koran menyebut bahwa Vatikan sudah belajar dari film DaVinci Code yang dulu direspon sengit oleh Vatikan, yang malah membuat film itu laku keras.

Bagi saya, itu terjadi bukan karena apa-apa, melainkan karena Gereja tidak terlalu ‘takut’ kepada Angels-Demons.

Sebagaimana diketahui, Dan Brown menulis dua buku tentang sejarah kelam gereja, yang keduanya difilmkan dan sama-sama dibintangi Tom Hanks. Film pertama, DaVinci Code, memancing kontroversi panjang lantaran ceritanya ‘menggoncang iman Kristen’ secara telak. Film kedua, ya Angels-Demons itu, yang beredar mulai 19 Mei lalu.


Pengguncang iman

Angels-Demons itu tidak terlalu menggoyah iman. Berbeda dengan DaVinci Code, yang menjungkirkan pokok-pokok keimanan Kristen, khususnya tentang penuhanan Yesus. Bertolak dari kajian sejarah (yang dianggap spekulatif oleh Gereja, tetapi semakin bisa dibuktikan riil oleh fakta sejarah), digambarkan bahwa Yesus diangkat sebagai tuhan oleh suatu forum politis yang diprakarsai Kaisar Constantine. Dalam forum itu para pemuka aliran-aliran agama Kristen dari kubu bersebrangan, yaitu yang (saya sebut saja) “pro-penuhanan” dan yang “pro-pemanusiaan” Yesus, saling bertemu untuk berembug. Kedua kubu selama puluhan tahun saling bertikai sampai saling menumpahkan darah. Kaisar Constantine berkepentingan untuk mempertemukan mereka demi perhitungan politiknya sendiri.

Yang pro-penuhanan adalah mereka yang tidak setuju jika Yesus hanya dijadikan nabi atau pemimpin agama; yang dengan itu legitimasi dan loyalitas penganutnya diharapkan total, bukan kepada siapa-siapa melainkan kepada pendeta dan pemimpin agama Kristen yang tengah membangun lembaga gereja. Itu berbeda dengan yang pro-pemanusiaan Yesus. Bagi mereka ini, Yesus adalah nabi dan pemimpin spiritual; namun sebagaimana umumnya orang Yahudi seusianya, ia menikah dan berkeluarga. Hal demikian sangat ditentang oleh yang pro-penuhanan Yesus. Sebab, yang disebut Tuhan haruslah lepas dari hal-hal ‘manusiawi’ seperti itu.

Pertikaian di antara mereka begitu sengitnya. Nah, dalam forum yang disebut Konsili Nicea itulah penuhanan Yesus memperoleh kemenangan setelah melalui semacam voting. Sebaliknya, pihak pro-pemanusiaan Yesus, meskipun kalah dalam forum, mereka kemudian menyisihkan diri seraya membawa dan mengamankan anak-keturunan Yesus, yang diburu-buru oleh pemenang voting, bahkan sampai kini. Sepanjang zaman mereka diburu-buru. Alasannya, dapat dimaklumi, merupakan persoalan hidup mati: eksistensi mereka merupakan ancaman bagi eksistensi lembaga gereja seperti yang kita temui sekarang.

DaVinci Code memang mengguncang iman Kristen dan kekuasaan gereja. Secara luas film itu menerbitkan gelombang penggerusan iman, yang dampaknya diperhitungkan bakal mengganggu kemapanan gereja. Gereja, yang mengukuhkan kekuasaan lewat doktrin tak-boleh-dibantah pasca Konsili Nicea itu, berusaha mencegat DaVinci Code dengan pelbagai cara.

Protes-protes diajukan; upaya merintangi pembuatan film dilakukan. Sampai-sampai penerjemahan teks dalam bahasa-bahasa setempat pun dihalang-halangi. Di Indonesia, misalnya, bagian yang memuat sejarah kelam gereja itu dilarang diterjemahkan. Sehingga film DaVinci Code yang beredar di sini selama 11-an menit tanpa terjemahan.


“Menyerang Wei demi menyelamatkan Zhao”

Namun semua itu tidak menghalang-halangi kesuksesan DaVinci Code. Hampir di semua gedung bioskop ia menjadi box-office. Itu berlangsung berbulan-bulan; dan masih akan terus bergulir demikian manakala film itu diedarkan ke seluruh dunia. Dampak di masyarakat pun luar biasa: orang semakin banyak yang melek terhadap sejarah kelam gereja: sejarah penyia-nyiaan keturunan Yesus; sejarah absurd yang luar-biasa. Ya, begitu absurdnya sampai-sampai semua bukti tertulis tentang itu diamankan gereja begitu rupa, kalau tidak dimusnahkan. Maksudnya jelas: supaya pelanggengan kekuasaan Gereja bisa dipertahankan. Gara-gara DaVinci Code orang Kristen jadi bimbang, bahkan menjadi murtad; setidaknya menjadi curiga kepada doktrin-doktrin Gereja.

Nah, pihak gereja yang amat kuatir tidak bisa membiarkan gelombang penggerusan iman itu berlangsung terus mengikuti pola multiplier effects. Mereka kemudian menemukan cara yang ampuh untuk menggeser isue itu. Kiatnya sungguh cerdik dan licin. Yakni: dilemparkannya isue pengalihan, yang akan membuat perhatian tidak lagi fokus ke persoalan iman kristiani itu melainkan ke hal lain. Bahkan ini bisa menjadi pukulan balik, ibaratnya “kalau gue jatuh, ente pun musti ikut”.

Bagaimana wujud konkretnya? Pihak gereja (yang diampu sendiri oleh Paus), melemparkan isue yang menghina umat Islam ke tengah masyarakat (saat ia melawat ke Jerman); dengan perhitungan hal itu pasti akan ditanggapi serius oleh umat Islam di mana pun berada.

Kejadiannya dimulai dari sebuah pidato di Universitas Regensburg, Bavarian Jerman, pada 12 September 2006, Paus Benediktus XVI mengutip kaisar kristen kerajaan Byzantium dari abad ke-14, Manuel II Paleologos. Dalam sumber yang diacu oleh Paus, Manuel II berdebat dengan cendikiawan Persia. “Nabi Muhammad telah merampas tanpa kemanusiaan. Seperti perintahnya menyebarkan agama yang ia serukan dengan pedang, ” demikian pernyataan Manuel II Paleologos, sebagaimana dikutip Paus. Tak cukup itu, Paus juga mengatakan, bahwa jihad atau perang suci tidak selaras dengan tabiat ketuhanan dan tabiat jiwa manusia. Karenanya, ia menilai saat ini sangat penting digelar dialog antara dua dunia besar, dunia Kristen dan dunia Islam.

Benar saja, reaksi kaum muslimin akan ditentukan oleh kualitas isue yang dihembuskan. Karena isue yang dilontarkan bernada menghina Nabi Muhammad, maka pastilah reaksi orang Islam (yang sangat menghormati nabinya) akan sangat sengit pula.

Nah, jadilah itu isue pengganti yang berlangsung dalam skala internasional. Negara-negara Islam menjadi geram; di mana-mana orang Islam menuntut agar Paus mencabut ucapannya. Vatikan sudah tentu tidak langsung manut. Dibiarkannya kontroversi itu berlangsung beberapa lama, kian sengit kian baik; dan hasilnya pun menindih isue DaVinci Code. Dunia pun lupa membincangkan nestapa sejarah Yesus. Setidaknya orang tidak lagi membahasnya secara yang dramatis.

Dalam strategi perang Cina Kuna, kiat Paus semacam itu dikenal dengan “Wei wei jia zhao” atau “Menyerang kerajaan Wei untuk menyelamatkan kerajaan Zhao”. Dengan “menyerang kerajaan Wei” (menghina Nabi Muhammad), Paus berusaha “menyelamatkan kerajaan Zhao” (mencegah penggerusan iman secara kolektif). Meskipun DaVinci Code mulai beredar bulan Mei, dan goro-goro yang dibuat Paus berlangsung pertengahan September, saya tidak bisa berhenti berpikir bahwa hal tersebut bukan kebetulan. Soalnya, kerusakan akibat DaVinci Code masih terus berlanjut. Lagi pula, di belahan bumi lain DaVinci Code masih akan terus diputar (dan tetap menjadi upaya dekatolikisasi) entah sampai kapan.

Demikian kasus DaVinci Code dulu.

Adakah kini, setelah Angels-Demons beredar, Gereja juga akan melakukan upaya pengalihan perhatian serupa itu? Saya pikir kini gereja tidak akan melakukan hal serupa. Sebab, Angels- Demons tidak terlalu mengguncang iman seperti halnya DaVinci Code. Namun, kalau kelak ternyata Angels-Demons mengulangi dampak DaVinci Code, ada kemungkinan Gereja akan berbuat yang sama.

Kita lihat saja nanti. Wallahu alam.

Samberlilen, Helen dari Troya & Ken Dedes


Sampai 10-an tahun yang lalu masih mudah kita menemukan serangga bersayap keras, berwarna biru, merah, jambon atau ungu metalik, berkilat-kilat indah, badan berbentuk oval-panjang ukuran + 5 cm. Serangga cantik itu biasa disebut samberlilen; kadang juga disebut kumbanglilen. (Jangan keliru dilafalkan “lilin”, lho.) Nama ilmiahnya, konon, Chyrsochroa buqueti . Kini sulit sekali kita menemukan makhluk Tuhan yang satu itu ― apalagi di perkotaan.

Jumat lalu, lewat tengah malam, kami yang sedang dapat giliran ronda, terhenyak gembira karena salah seorang teman berseru, “Ada samberlilen di pohon itu!” Ia mengarahkan senternya ke gerumbul daun nangka. Kami berhamburan meninggalkan kacang godog, pisang goreng, dan aneka penganan lainnya, untuk menyongsong makhluk cantik itu.

Tetapi kami semua kecewa. Serangga itu sudah lenyap. Ia entah menghilang, bersembunyi di balik reriungan daun, atau jangan-jangan teman kami itu hanya berangan-angan. Dugaan terakhir itu disanggah sengit oleh yang bersangkutan.

Dia mengaku sudah lama tidak melihat samberlilen. Dia masih ingat saat terakhir menemukannya, di pucuk srikaya di rumah familinya. Yang lain menimpali bahwa serangga itu mungkin sudah musnah di sekitar daerah persawahan yang banyak disemprot pestisida. Logikanya sederhana, ujar teman yang kini terpilih menjadi anggota dewan: “Dia kan makan serangga lebih kecil, yang sudah habis karena pestisida itu. Maka samberlilen merupakan kurban langsung atau tak langsung dari program intensifikasi pertanian.”

Saya menyahut bahwa ada faktor penting yang lain lagi: samberlilen dipercaya punya tuah tertentu. Bukankah ada istilah “susuk samberlilen” yang ditawarkan oleh pemberi jasa (dukun) tertentu? Saya nggak tahu apakah itu sekadar istilah (misalnya untuk menyebut kondisi seseorang yang mencorong indah seperti samberlilen), atau memang serangga itu yang dijadikan ‘kurban’.

Tetapi jelas, saya masih ingat, betapa nenek saya dulu bercerita betapa dia pernah punya bros samberlilen berpeniti emas. Konon samberlilen diawetkan, lalu peniti emas dibungkus dengan kerangka tubuh serangga itu. Keindahan serangga itu bakal bertahan dan tidak akan luntur sampai waktu yang lama.

Ironis sekali: Kecantikan itu akhirnya mencelakakan dirinya sendiri. [Saya jadi teringat kepada para perempuan jelita seperti Dewi Sinta, Helen dari Troya, Ken Dedes dan entah siapa lagi. Nasib karena anugerah kejelitaan mereka sungguh seperti samberlilen….]

Saya tetap berharap kapan-kapan akan menemukan samberlilen entah di mana. Tidak cuma melihat dari gambar perangko [lihat di: http://www.menlh.go.id/perangkohlh/]. Mungkin seperti yang dialami teman fotografer Bagus Survianto [http://www.fotografer.net/isi/galeri/lihat.php?id=847549] di Malang, yang secara tidak sengaja menemukan serangga itu hinggap di helm, lalu mengabadikannya yang saya tempel hasilnya di sini. [Trims, mas Bagus.]

Saya ngungun, kelangkaan samberlilen sudah menerbitkan kangen yang aneh di hati saya. *

Tarik Ulur Kepentingan dalam Masalah Perumahan

Persoalan pemukiman di Yogyakarta semakin hari sudah semakin kompleks, sejalan dengan pertumbuhan kota dan kebutuhan warga akan pemukiman yang layak. Tarik menarik antara tuntutan kebutuhan, keterbatasan atau ketersediaan lahan serta sarana-prasarana pendukung, berhadapan dengan regulasi tentang RTRW (rencana tata ruang dan wilayah), memunculkan permasalahan yang seringkali bersifat konfliktual.

Sebagai lembaga yang diamanati untuk mendorong terwujudnya tata kelola usaha yang beretika dan berkelanjutan, LOS berada di tengah-tengah relasi dan kepentingan para pihak tadi, dalam posisi sebagai katalisator proses yang produktif menuju penguatan etis. Sampai kini permasalahan perumahan termasuk bidang yang cukup banyak diadukan ke LOS ―sampai proporsi 20% dari keseluruhan kasus― dengan variasi permasalahan berupa perijinan/ legalitas lahan, kiat penjualan yang patut diduga memperdayai konsumen, persoalan bestek dan layanan purna jual. Proporsi sedemikian itu juga mengindikasikan magnitude permasalahan di masyarakat juga sebanding, atau malah lebih besar, ditilik dari kualitas dan kuantitasnya.

LOS berupaya melakukan pendekatan terhadap kasus aduan dari dua tataran, yakni penyelesaian masalah secara langsung pada tingkat pelapor-terlapor dan tataran pengkondisian kebijakan makro atau sub–makro yang pro-etis. Pendekatan demikian diharapkan memiliki dampak taktis dalam jangka panjang, karena ibaratnya LOS tidak hanya menengok ke pancuran di hilirnya, namun juga memperhatikan sumber air di hulu.

Maka terhadap setiap kasus akan selalu didalami dari kedua tataran itu, sehingga permasalahan perumahan pun juga diperiksa sampai ke permasalahn suprastruktur aturan hukum yang berlaku. Dari uraian itu kita sampai ke pertanyaan-pertanyaan permukiman/perumahan yang terentang dari hilir ke hulu sebagai berikut:

(1) Mengapa terjadi wanprestasi dalam hubungan antara pengembang dan konsumen?

(2) Mengapa terjadi penyimpangan bestek, apakah karena kesalahan etimasi dan teknis, ataukah karena perubahan situasi dan kondisi ekonomi yang yang demikian drastis, sehingga para pihak menyesuaikan diri secara negatif? Ataukah para pihak kurang memahami hak-kewajiban masing-masing?

(3) Bagaimana peran pemerintah sebagai regulator? Sudahkah bertindak melindungi kepentingan para pihak secara sistemik? Dalam hal apa saja tindakan pemerintah diperlukan untuk membangun tata kelola yang etis dan berkeadilan?

(4) Adakah masukan dan kritik bagi pemerintah, pengembang, asosiasi pengembang (mis REI), lembaga konsumen dan konsemen sendiri -- kesemuanya bukan hanya untuk penyediaan pemukiman yang etis dan berkeadilan, namun juga yang bermakna bagi penguatan modal sosial. Adakah yang demikian? ****


Dari Michigan Belajar tentang Kultur dan Gempa di Yogya

15 orang remaja belia bertubuh bongsor itu datang dari pelbagai fakultas di University of Michigan (UM), AS, untuk melongok Yogyakarta setelah gempa. Mereka terdiri dari tiga perjaka dan 12 gadis, dengan diiringkan oleh pimpinan fakultasnya, Agustini, yang asli Purwokerto.

“Sesungguhnya ada lebih dari 100 orang mahasiswa yang berminat ke Indonesia,” ujar Agustini, dosen Bahasa Indonesia di UM, menjelaskan kepada tuan dan puan rumah di Kantor Lembaga Ombudsman Swasta (LOS) DIY. “Namun karena keterbatasan tempat, kami harus menyeleksi dan memilih 15 orang saja.”

Mereka berasal dari bidang studi seni, politik, kebijakan publik, biologi sampai astronomi. Namun mereka datang ke Yogyakarta dengan fokus belajar tentang pengalaman antar-budaya, khususnya problematika pasca gempa. Itulah sebabnya di LOS banyak menanyakan perihal kebijakan terhadap kesulitan masyarakat yang dirundung musibah gempa. Mereka mencecar Supriyono, anggota LOS yang memandu acara, tentang bagaimana masalah kesehatan masyarakat direspon di puskesmas dan rumahsakit.

“Kami juga akan bertamu kepada Bupati Bantul,” jelas BRM Bambang Irawan, dosen Universitas Sebelas Maret (UNS), yang bertindak sebagai tuan rumah. “Mereka ingin tahu apa saja langkah-langkah politik-ekonomi pasca gempa yang diambil pemerintah.”

LOS-DIY dipilih sebagai salah satu item kunjungan. Tujuannya untuk melihat bagaimana lembaga ini menyikapi persoalan-persoalan pasca gempa yang terkait dengan kebijakan ekonomi-politik, kesehatan dan permukiman. Maka hari Selasa ini (19/5) remaja-remaja bule yang baru belajar Bahasa Indonesia itu pun mengikuti diskusi terarah di LOS tentang masalah-masalah perumahan dan pemukiman dengan sejumlah pihak. Hadir dalam diskusi tersebut unsur BPPD (Badan Pengendalian Perumahan Daerah) Sleman, Kimpraswil, BPN (Badan Pertanahan Nasional) Sleman, Ketua REI DIY Remigius, konsumen perumahan, anggota DPRD DIY Imam Sujangi, beberapa pengembang, juga pakar pemukiman Yogyakarta lulusan Jerman, Ilya Mahardika. ****