Gus Farid

Avatartentang pengharapan dan kegelisahan terhadap "good society" di Indonesia

Samberlilen, Helen dari Troya & Ken Dedes


Sampai 10-an tahun yang lalu masih mudah kita menemukan serangga bersayap keras, berwarna biru, merah, jambon atau ungu metalik, berkilat-kilat indah, badan berbentuk oval-panjang ukuran + 5 cm. Serangga cantik itu biasa disebut samberlilen; kadang juga disebut kumbanglilen. (Jangan keliru dilafalkan “lilin”, lho.) Nama ilmiahnya, konon, Chyrsochroa buqueti . Kini sulit sekali kita menemukan makhluk Tuhan yang satu itu ― apalagi di perkotaan.

Jumat lalu, lewat tengah malam, kami yang sedang dapat giliran ronda, terhenyak gembira karena salah seorang teman berseru, “Ada samberlilen di pohon itu!” Ia mengarahkan senternya ke gerumbul daun nangka. Kami berhamburan meninggalkan kacang godog, pisang goreng, dan aneka penganan lainnya, untuk menyongsong makhluk cantik itu.

Tetapi kami semua kecewa. Serangga itu sudah lenyap. Ia entah menghilang, bersembunyi di balik reriungan daun, atau jangan-jangan teman kami itu hanya berangan-angan. Dugaan terakhir itu disanggah sengit oleh yang bersangkutan.

Dia mengaku sudah lama tidak melihat samberlilen. Dia masih ingat saat terakhir menemukannya, di pucuk srikaya di rumah familinya. Yang lain menimpali bahwa serangga itu mungkin sudah musnah di sekitar daerah persawahan yang banyak disemprot pestisida. Logikanya sederhana, ujar teman yang kini terpilih menjadi anggota dewan: “Dia kan makan serangga lebih kecil, yang sudah habis karena pestisida itu. Maka samberlilen merupakan kurban langsung atau tak langsung dari program intensifikasi pertanian.”

Saya menyahut bahwa ada faktor penting yang lain lagi: samberlilen dipercaya punya tuah tertentu. Bukankah ada istilah “susuk samberlilen” yang ditawarkan oleh pemberi jasa (dukun) tertentu? Saya nggak tahu apakah itu sekadar istilah (misalnya untuk menyebut kondisi seseorang yang mencorong indah seperti samberlilen), atau memang serangga itu yang dijadikan ‘kurban’.

Tetapi jelas, saya masih ingat, betapa nenek saya dulu bercerita betapa dia pernah punya bros samberlilen berpeniti emas. Konon samberlilen diawetkan, lalu peniti emas dibungkus dengan kerangka tubuh serangga itu. Keindahan serangga itu bakal bertahan dan tidak akan luntur sampai waktu yang lama.

Ironis sekali: Kecantikan itu akhirnya mencelakakan dirinya sendiri. [Saya jadi teringat kepada para perempuan jelita seperti Dewi Sinta, Helen dari Troya, Ken Dedes dan entah siapa lagi. Nasib karena anugerah kejelitaan mereka sungguh seperti samberlilen….]

Saya tetap berharap kapan-kapan akan menemukan samberlilen entah di mana. Tidak cuma melihat dari gambar perangko [lihat di: http://www.menlh.go.id/perangkohlh/]. Mungkin seperti yang dialami teman fotografer Bagus Survianto [http://www.fotografer.net/isi/galeri/lihat.php?id=847549] di Malang, yang secara tidak sengaja menemukan serangga itu hinggap di helm, lalu mengabadikannya yang saya tempel hasilnya di sini. [Trims, mas Bagus.]

Saya ngungun, kelangkaan samberlilen sudah menerbitkan kangen yang aneh di hati saya. *

0 komentar:

Posting Komentar