Gus Farid

Avatartentang pengharapan dan kegelisahan terhadap "good society" di Indonesia

Hukum (Hanya) untuk Rakyat Kecil

BERTURUT-TURUT PUBLIK DI INDONESIA disuguhi pertunjukan ala parodi tidak lucu selama satu-dua minggu terakhir. Yang menjadi lakon adalah orang-orang kecil, yang sebelumnya tak tercatat dalam Who’s Who manapun juga. Mbah Minah, seorang perempuan tua, dihadapkan ke Pengadilan Negeri Purwokerto lantaran mencuri 3 (tiga) biji kakao. Di Batang, kota pantai Jawa Tengah, itu empat jiwa warga jelata Manisih, Sri Suratmi dan dua anak-anak, dibawa ke meja hijau karena didakwa mengutil kapuk randu. Di Kediri, dua orang jelata paruh baya bernama Kholil dan Basar diseret ke pengadilan karena mencuri sebutir semangka di ladang lantaran haus.

Tiga kasus serupa di tiga kota berbeda sesungguhnya hanya merupakan puncak gunung es yang di bawah permukaan kita belum tahu seberapa besarnya. Tapi sebagai gejala di tengah masyarakat, kita layak prihatin terhadap kemungkinan magnitudenya. Kita sangat layak kuatir, jangan-jangan yang tidak tampak jauh lebih besar.

Melihat kasus itu saya tidak menjadi bangga seraya meyakinkan diri sendiri bahwa hukum sudah ditegakkan dengan tidak pandang bulu. Maaf, tidak. Dengan merenungkan dan mengeksplorasi semua berita di media massa, anehnya kita bertambah yakin bahwa ketiga kasus itu merupakan sebentuk konfirmasi yang nyaris sahih tentang mentalitas korup aparat penegak hukum. Ya, itulah yang kita peroleh, dan bukannya keyakinan bahwa hukum sudah ditegakkan.

Tidak ayal, kita sampai berpikir kalau orang-orang dalam ketiga kasus itu cukup punya duit, berkas mereka niscaya tidak akan sampai ke Kejaksaan karena sudah bisa ‘dimentahkan’. Kalau toh berlanjut sampai Kejaksaan, itu juga bisa dihadang dengan sejumlah rupiah sehingga tidak akan sampai ke meja hakim. Anggodo menjadi contoh preseden yang begitu jelasnya.

Mereka semua sudah jelas miskin harta. Justru karena itu maka aparat ‘buaya’ akan menjadikannya bulan-bulanan sikap deksura mereka. Untuk diketahui, yang menangkap Kholil-Basar adalah adik dari si pemilik ladang semangka, yang notabene seorang aparat kepolisian. Kholil di layar televisi mengaku dihajar oleh (para) ‘buaya’ itu sebelum atau setelah keluarganya gagal dimintai uang. Tidak sulit meyakini ucapannya, karena penyiar televisi —yang bertanya secara telewicara— berkali-kali menyatakan betapa serius konsekuensi pernyataan Kholil itu. Saat itu Kholil bergeming.

Dan Anda pun berhak berprasangka, setelah siaran RCTI (26/11) itu kelak Kholil akan mencabut pernyataan tadi dalam suatu siaran pers. Jika sebelumnya dia sudah pernah dihajar, akan lebih mudah membayangkan dia akan mengalami lagi hal demikian, meskipun mungkin dalam bentuk yang lebih ‘manusiawi’ sesudah siaran televisi tadi.

Setelah upaya kriminalisasi KPK oleh buaya dan biawak yang memalukan itu, di mana sepanjang pemberitaan pers Indonesia memaparkan beberapa variasi perilaku tercela para oknum buaya dan biawak; maka kita jadi mengira-ngira yang lebih jauh lagi. Kita jadi bisa menduga-duga mulai dari rekayasa kasus, penyusunan BAP yang salah prosedur, penyadapan, mematai gerak-gerik, penggunaan uang pelicin, campurtangan makelar kasus (markus), sampai betapa saktinya sosok markus seperti Anggodo itu. Karena itu cukup alasan bagi kita untuk belajar melakukan ekstrapolasi (dengan bekal temuan kolektif kita dari ingar-bingar kasus buaya versus cicak itu) terhadap ke-3 kasus remeh-temeh dari tiga kota tersebut.


INILAH HASIL EKSTRAPOLASI ITU: Di balik kasus orang-orang sengsara tadi —Minah, Manisih, Kholil—, di seberang mereka pasti berdiri pihak yang jauh lebih kuat secara status-ekonomi-sosial. Kepada mereka inilah buaya berpihak, dan mereka yang jelata itu dipinggirkan.

Siapa yang berseberangan dengan Minah, nenek tua yang mengambil kakao tiga biji itu? Tidak lain adalah salah satu PTPN di Purwokerto, salah satu BUMN Departemen Pertanian yang sudah tentu dari sudut penyidik jelas lebih pamor, lebih ‘royal’, dan “sesama pemerintah”. Kesemua itu sudah pasti mereduksi prinsip imparsialitas. Tapi apa mau dikata? Pihak seberang Minah mungkin memiliki counter argument yang tentu sangat kuat, mulai dari “Minah itu pencuri langganan”, “supaya para pencuri yang lain kapok”, atau “untuk menimbulkan efek jera, karena sesepele apapun ternyata diseret ke pengadilan.”

Siapa pula yang berseberangan dengan Manisih? Lihat saja: sebuah perseroan terbatas, tingkat lokal yang cukup besar. Bagi PT “S” orang-orang seperti Manisih, Sri Suratmi dan dua bocah itu mungkin sudah terlalu merepotkan; karena merecoki “aset pabrik secara kecil-kecilan tapi terus berulang”, dst.

Yang berseberangan dengan Kholil, yakni Darwati si pemilik semangka, adalah kakak dari seorang anggota Polri. Kita bisa membayangkan bagaimana Darwati yang jengkel (lantaran dalam hari-hari sebelumnya ladang semangkanya ludes) itu memicu ketegasan sikap si adik, yang tidak mau kompromi terhadap Kholil meskipun dia mengaku tidak tahu menahu dengan pencurian semangka di ladang itu sebelumnya. Sudah minta-minta ampun sekalipun aparat tetap bertindak tegas menegakkan aturan; kalau pencuri ya pencuri; tetap harus dihukum.

Meskipun berada di tiga kota berbeda, saya bisa membayangkan bagaimana kira-kira pihak pengadu, pihak seberang, yang SES-nya lebih tinggi itu berpikir. Begini kira-kira: “Mereka memang harus dibuat jera. Hukuman kepada mereka itu akan menjadi preseden yang bagus bagi para calon maling lainnya, sehingga akan urung mencuri manakala ingat nasib Minah, Manisih atau Kholil. Itulah cara terbaik untuk memberi pelajaran. Toh itu juga berarti penegakan hukum yang berlaku positif di Indonesia.”

Sampai di sini, saya kira akan menarik kalau kita sempat beriskusi dengan penegak hukum yang kelewat rajin itu. Sementara kepada para ‘terdakwa’, saya menyarankan kalau kelak mereka dihukum juga, mereka hendaknya naik banding, kalau perlu sampai kasasi ke Mahkamah Agung.*

Omnivora


Manusia memang pemakan segala.

Seorang blogger menulis tentang kuliner ulat sagu di Papua, yang diolah menjadi sate. Wah, tampaknya lezat juga.

Sate memang mudah ditemukan di mana-mana. Nyaris seperti rumah makan Padang. Umumnya sate kambing atau sapi atau ayam. Yang terakhir ini dipopulerkan oleh saudara-saudara kita dari Madura.

Di Yogyakarta menu sate biasanya dilengkapi dengan alternatif sate non-bakar, yang disebut tongseng, yang sesungguhnya adalah ca daging. Ini agak berbeda dengan di Jawa Timur, misalnya di kota-kota seperti Surabaya, Kediri, Tulungagung atau Madiun, Kalau di kota-kota tadi alternatif menunya adalah gulai atau kari, hampir sama dengan di kota-kota Jawa Tengah.

Di Kota Pelajar ini sate dan tongseng juga punya raw material beragam. Ada yang jelas halal dan thayib, juga yang halal tetapi kurang biasa; lalu yang samar-samar; yang subhat, sampai yang betul-betul haram.


Manusia memang pemakan segala.

Sekadar eksplorasi ringan, saya menemukan pelbagai warung-warung unik.
Di dekat kantor saya, Lembaga Ombudsman Swasta (LOS), ada sate ular. Warungnya sederhana tetapi konon banyak juga penggemar fanatiknya. Di Jl Parangtritis (dalam bahasa gaul disebut Paris) ada sate kuda ― juga di beberapa jalan lain.
Ke selatan 5-6 kilo kita bisa menemukan Resto Pulo Segaran yang menyediakan menu aneh dan unik, mulai dari sate burung emprit (pipit, bondol), angsa, anak ayam (kuthuk) sampai bajing atau tupai.

Masih di arah selatan, yakni jalan menuju Pantai Samas Km 6, ada juga sate dan tongseng codot atau kelelawar pemakan buah. Anak sekolah mengenal itu dari keluarga Pteropodiniae, tetapi saya tidak tahu jenis apa yang dijajakan itu. Mungkinkah itu jenis Eonycteris spelaea yang sangat membantu manusia dalam hal penyerbukan pohon randu, petai, durian dan pelbagai tanaman komersial lainnya? Ataukah itu Cynopterus brachyotis? Tetapi apapun, codot-codot itu sesungguhnya merupakan mitra manusia karena ‘kinerja’ penyerbukannya!

Baru-baru ini, sepulang bertamu ke Bupati Gunungkidul Suharto, saya dan teman-teman mampir ke warung Sego Abang yang menyajikan makanan khas desa. Kami memang kekenyangan menyantap lalaban, wader goreng dan aneka sayur lodeh yang pedas-lezat-cita. Di situ pula kami ketemu dengan belalang goreng. Saya tidak yakin apakah itu belalang hijau Oxya japonica, Stenocatantops splendens atau Locusta migratoria, tetapi setahu saya itu belalang hama padi.

Terus terang, itu bukan kali pertama saya memakan serangga seperti belalang. Dulu ketika kanak-kanak, bersama saudara-saudara sepupu yang dipimpin Pakdhe di belakang rumah Eyang di Pare, Kediri, kami mencari gangsir. Serangga sejenis jangkerik yang bertubuh tambun itu biasanya kami sate atau digoreng sangrai dengan minyak.


Manusia memang pemakan segala.

Warga kota Kediri pada tahun 1982-an sempat membuat jejak kuliner yang fenomenal. Saat itu, entah siapa yang menjadikan marak, ramai dipiara dan dimasak lalu disebarkan kemana-mana penganan keripik bekicot. Ya, bekicot. Hampir di seluruh telatah Kediri saat itu seperti terjangkit demam memelihara bekicot, untuk dikirim ke seluruh Jawa ― bahkan ke Luar Jawa.

Hampir sewaktu dengan itu, orang Kediri juga berkreasi membuat penganan baru. Kali ini mereka mengolah dan membuat awet buah pisang dengan menjadikannya getuk, dikenal sebagai getuk pisang. Penganan ini melengkapi tahu takua, tahu kuning yang awet, yang juga dikenal sebagai buah tangan dari kota bekas ibukota Kraton Daha itu.

Jika di Prancis konon bekicot atau escargot itu dimuliakan dan dihargai mahal, maka sebaliknya saya termasuk yang tidak doyan menyantap. Saya memang pernah makan lantaran dikibuli saudara sepupu, yang menyebut keripik bekicot dengan keripik paru. Tetapi selain itu, saya tetap ogah bekicot ― sampai kini. Jikalau tidak merasa jijik, saya tetap menganggap bekicot seperti orang alim menyikapi makanan yang tidak dia inginkan: “Saya tidak biasa.”


Di Yogyakarta juga cukup mudah ditemukan penganan atau menu haram ―dari sudut pandang Muslim―, misalnya babi dan anjing. Untuk anjing, supaya lebih enak konon orang tidak menyembelihnya dengan belati, melainkan dengan memasukkan ke dalam karung, lalu menggebukinya sampai mati. Soal derita atau hak-hak hewan, itu di luar pertimbangan mereka. Hal itu supaya darah anjing tidak tertumpah keluar, sehingga lebih gurih atau mujarab.

Mujarab? Ya, karena makanan itu ―termasuk yang aneh-aneh seperti codot dan bajing― disantap makhluk yang bernama manusia karena adanya alasan rada berbau mitos: Merupakan obat untuk penyakit atau sebagai afrodisiak.


Manusia memang pemakan segala.

Namun jika Anda seorang Muslim, atau bermaksud mencari makanan yang halal dan baik, datanglah saja ke Jogja Halal Food Centre, hanya 10 menit dari kampus UGM. Alamatnya di Jl Damai atau Jalan Kaliurang (biasa disingkat Jakal) Km 10, Yogyakarta.

Di rumah makan kakak saya, Mulyono Makhasi, mantan pegawai Depsos itu, Anda akan menemukan pelbagai menu yang bukan hanya dinyatakan halal oleh owner namun juga memperoleh sertifikasi MUI. Tersedia beragam pilihan menu, mulai dari yang khas Jawa, pelbagai soto, masakan Menado, dan entah apa lagi.

Jika Anda sampaikan bahwa Anda datang ke Jogja HFC karena membaca blog ini, insya Allah yang akan Anda peroleh bukan saja makanan yang halal dan thayib, tetapi juga pertemanan dan silaturahmi. ****

Intim Posesif & Emoh Posesif di Malaysia

Kisah dua perempuan Indonesia di Malaysia menunjukkan betapa sulitnya mempercayai manusia.

Cerita ini menyangkut dua anak manusia: seorang bernama Manohara, masih belia; dan Siti Hajar, perempuan baya. Tulisan ini berasumsi bahwa berita-berita tentang keduanya akhir-akhir ini benar adanya. Manohara menikah dengan anak raja Kelantan bernama Muhammad Fakhry; Hajar bekerja sebagai pembantu rumahtangga pada seorang Cina janda bernama Michelle.

Kedua perempuan Indonesia itu tidak pernah bertatap muka; keduanya hanya bertemu dalam kesamaan nasib: disia-siakan orang yang semula menjadi harapannya.


Tentang si Belia

Si gadis menikah dengan Fakhry. Semula mungkin dengan baik-baik saja; tetapi mungkin juga bukan. Kita tidak bisa pasti apakah seperti kisah Cinderella ataukah lebih mirip diperkosa. Tetapi sesudahnya Manohara mengaku mengalami hari-hari yang berat sebagai istri, yang diperlakukan sebagai sekadar barang. Lalu, pada 31 Mei ia lolos dari kungkungan suaminya, saat berada di satu hotel mewah di Singapura.

Kejadian lolosnya Manohara itu hanyalah lanjutan dari kisah berminggu-minggu sang ibu bergelut dengan pelolosan diri dari (konon) woman traficking, yang dialami sosok kelas menengah. Dugaan perdagangan manusia memang meruyak di kalangan aktivis perempuan. Satu versi menyebut bahwa semula si ibu tidak menyadari hal demikian yang terjadi. Pada saat dia ngeh, dia pun kaget, lalu hibuk mencari perhatian publik.

Manohara dalam wawancara eksklusif dengan stasiun TV-One, setelah lolos di hotel mewah penuh fasilitas di Singapura, bercerita tentang detil pelariannya dari pelbagai rape, sexual harrasment, penyiksaan dan penyiletan tubuhnya oleh sang suami. Dia masih tampil sebagai selebritas; menjaga penampilan, dengan tutur kata yang agak ‘akademis’, cerdas, wajah cerah, tidak terlalu tampak susah.

Namun apa yang dipaparkannya menyembulkan kengerian. Kengerian terhadap kemungkinan buruk pemegang kekuasaan; yang menyebabkannya seperti kebal hukum; bergelimang perlakukan khusus dibanding anak negeri lainnya. Anak raja Kelantan itu, dengan wajah yang tidak terlalu cerdas, dengan mulut mengatup lemah, tampak santun di muka umum ― menjadi serigala di baliknya. Terlebih dalam kondisi pers Malaysia yang seperti tersensor rapi, yang menyebabkan publik tidak tahu-menahu tentang kisah-kisah tak sedap di balik dinding istana. [Ya, baru belakangan pers Malaysia memberi perhatian tentang kasus ini.]

Itulah sebabnya Manohara hanya dikenal sebagai gadis beruntung, sebagai Cik Puan Temenggung yang ayu, yang menikah dengan pangeran baik-baik idaman perempuan sahaya. Publik Malaysia sama sekali tidak menganggapnya sebagai kurban kekerasan dalam sekapan rumahtangga istana. Pers Malaysia sepenuhnya bisu; terpasung kekuasaan dinasti ala tribalisme; mandul dari sikap kritis. Baru belakangan Manohara menyebabkan berhembus angin baru berita lain dari sana, yang meruapkan kisah tak sedap bergelimang sahwat di istana.

[Dalam koteks ini, Istana Kelantan pasti akan mati-matian membela diri dengan pelbagai cara. Sebab, pertaruhannya sungguh luar-biasa. Kita akan saksikan nanti. Insya Allah, dalam waktu yang tidak terlalu lama.]


Tentang si Perempuan Baya

Nama Hajar melengkapi drama-drama tragedi perempuan pencari kerja di Arab dan Malaysia. Ada banyak nama, terakhir adalah Eci dan Nuraini setelah nama Hajar disebut-sebut. Mereka melengkapi kisah TKW ― termasuk Manohara, itu kalau dia bisa digolongkan ‘pencari kerja’.

Sudah tiga tahun Hajar, perempuan dari Jawa Barat, itu berada di Malaysia dan selama itu pula ia menanggungkan deraan penganiayaan fisik dan psikis dari majikannya sesama perempuan. Luka-luka melepuh akibat guyuran air panas dan lebam akibat pukulan di tubuhnya ―yang sudah pula dikonfirmasi dokter― menjadi bukti bahwa manusia bisa jadi lebih berbahaya dibanding hewan buas yang biasanya dihindari.

Hajar dipermak oleh (gawatnya) seorang perempuan pula, Hau Yuang Tyng yang sebelumnya dikenal sebagai Michelle. ‘Output’ dari perlakuan terhadapnya kelihatan betul kalau Anda melihat perempuan dari Kampung Lio Wetan, Limbangan Barat, Garut, itu. Televisi menyangkan gambarnya: Mukanya lebam, kulit leher dan punggung tampak cedera bekas siraman air panas. Luka-luka lainnya tampak di sana-sini, yang konon semua karena ulah sang majikan.

Bahkan luas dilansir media, janda berumur baya itu tidak pernah bisa mengirimkan uang kepada kedua anaknya di kampung, lantaran tidak pernah menerima gaji.


Kucing dan Cerpelai

Kisah kedua perempuan itu sama tetapi berbeda.

Relasi Manohara dengan suaminya memperlihatkan relasi “intim yang posesif”; sementara Hajar dan majikannya adalah relasi “emoh tetapi juga posesif”. Kedua kurban sama-sama “dibendakan” oleh sang tuan, diaku sebagai miliknya, diperlakukan sesuai instink primitif masing-masing, seumpama kucing mempermainkan tikus atau cerpelai mempermainkan ular.

Saya melihat sejumlah faktor berjalin-berkelindan dalam kasus ini, yakni: (1) orientasi kepada pencarian kekayaan yang menggerakkan kedua perempuan pergi ‘merantau’; (2) kekuasaan yang tanpa daya kritis dan tanggungjawab; (3) etika pribadi yang dimanipulasi demi kepentingan primitif berjangka pendek; (4) pers yang mandul, tidak mengembangkan kontrol organik; (5) Indonesia Embassy yang kelewat lamban, gagap, tidak memiliki kehormatan diri untuk melindungi warganya sendiri.

Saya memahami peristiwa itu karena hal berikut: para penganiaya itu, sadar atau tidak, didorong oleh persepsi bahwa perbuatannya tidak akan dipertanggung-jawabkan. Tidak di sini, tidak pula kelak di kemudian hari.

Saya memang hanya mengaduh lewat tulisan ini ― Nabi menyebut tindakan saya ini “selemah-lemah iman” karena tidak berupaya lebih keras lagi.

Saya memang hanya mengaduh dan menangisi manusia. *

Solusi Taktis Harapan Semua

SITI Khaiyarah (4 tahun) sudah kembali ke Sang Khalik. Bocah itu meninggal setelah beberapa hari menanggungkan derita akibat ketumpahan kuah panas, saat lapak bakso bapaknya digusur Satpol PP Surabaya. Dia merupakan dampak ke sekian dari paradigma ‘keblinger’ penanganan PKL.

Keblinger? Apanya yang keblinger?

Ya, sampai hari ini nyaris semua orang mengidap pandangan yang salah terhadap PKL.
Mulai dari pengamat, pemberdaya masyarakat sampai birokrasi umumnya memiliki kesamaan dalam memandang keberadaan PKL di perkotaan Indonesia.

Nyaris semuanya melihat persoalan sosial yang muncul dari (dan berujung pada) PKL itu tidak dalam kacamata yang utuh. Bahkan sejumlah birokrat dan oknum DPRD melihat PKL ibarat “musuh ketertiban”. Akibatnya, penanganan terhadap masalah yang muncul dari situ pun keliru juga.

Apanya sih yang salah dalam pandangan kebanyakan orang terhadap PKL itu? Mungkinkah itu dibenahi? Di bawah ini jawaban dari perspektif yang berbeda.

Selama ini PKL dilihat seolah sendirian berada di ruang publik yang hampa, yang tidak ada pihak-pihak lain di situ. Fakta itu , entah bagaimana menutup mata banyak pihak, sama sekali melupakan fakta lain bahwa PKL tidak bakalan ada jika tidak ada yang mendukung eksistensinya, yakni pembeli. Kalau ada pedagang kakilima, maka di situ pasti juga ada pembeli kakilima. Secara eksistensial mereka saling menguatkan, PKL itu saudara kembar dengan pembeli kakilima.

Manakala mencoba mengatasi dampak ikutan dari adanya PKL seraya melupakan fakta adanya pembeli kakilima, maka solusi yang diajukan pun pastilah sumir, sepenggal-sepenggal, tidak kontekstual, dan tidak adil.



LIHAT saja apa yang terjadi selama ini: PKL dikejar-kejar petugas Satpol PP atau tramtib atau entah apa namanya , yang didukung Perda atau aturan produk birokrasi yang (seolah) legitimate. Lapak mereka , yang tidak lain adalah modal mereka bekerja, disita; lalu rusak, kalau tidak bisa ditebus pada waktunya. Kalau bisa ditebus pun, harganya lumayan tinggi; yang notabene menjadi cost yang akan membebani mereka seterusnya.

Jika lapak dan barang-barang itu diperoleh dari utang, lalu ditambah dengan ongkos menebus barang-barang itu ke petugas, maka kian lama PKL yang tergusur itu kian terjerat utang. Mereka akan bertahan dalam jepitan utang dan bunga dan beban biaya lainnya itu begitu rupa , sehingga akumulasi kerumitan itu akan melanggengkan kemiskinan atas mereka! Sungguh social cost yang harus ditanggung masyarakat dari kebijakan yang keliru itu begitu tingginya.

Ataukah memang kita sedang melakukan pemiskinan? Itulah guyonan di kalangan pemerhati: Siapa tahu karena Undang-Undang Dasar menyebut “fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”, maka ada pihak-pihak yang ingin mempelesetkan makna “dipelihara” itu menjadi “melestarikannya”, jangan sampai berkurang adanya!



COBA, jika paradigmanya dibalik: Jika Anda bermaksud menyingkirkan PKL dari satu trotoar, mulailah dari mengatur pembeli kakilima. Mula-mula peringatkan pembeli itu bahwa mereka akan didenda Rp50 ribu (atau angka yang pantas lainnya) jika berbelanja di situ. Selama beberapa waktu bolehlah Anda agak lunak, penuh toleransi terhadap mereka. Tetapi nanti ada saatnya Anda harus tegas, tanpa kompromi, terhadap pembeli kakilima yang melanggar.

Kemudian, lihatlah apa yang terjadi.

Jika pembeli kakilima sekali-dua menemukan ketegasan Anda dalam penegakan denda tadi, maka tidak akan memakan waktu lama trotoar Anda bakal dijauhi pembeli kakilima untuk seterusnya ibarat menjauhi ulat gatal. Sampai di sini, apakah Anda kira PKL masih akan bertahan di situ? Ya, jelas tidak-lah yauw!

PKL yang sepi pembeli, tidak mungkin bertahan di trotoar Anda sehari lebih lama lagi. Mereka pasti akan pergi mencari tempat yang lebih ‘aman’ untuk berjualan. Modal bisnis mereka tidak perlu diutik-utik. Sehingga mereka juga tidak perlu terbebani ongkos macam-macam. Mereka tidak perlu dikejar-kejar, didenda, dibentak-bentak, digaruk lapaknya, dihinakan, disakiti.

Tidak perlu muncul duka-derita bocah seperti Siti Khaiyarah yang sedang lucu-lucunya itu lagi.



MUNGKIN sejumlah oknum akan tidak nyaman dengan pergeseran seperti itu disebabkan jaminan bagi pemeliharaan atas kepentingannya menjadi terganggu. Oknum tramtib yang nakal, yang selama ini menikmati tebusan-tebusan atas barang yang disita, atau menikmati ongkos “tutup mata” seolah tidak melihat ada PKL di situ, atau yang suka menikmati 'rasa berkuasa' dengan mengejar-ngejar PKL, sudah pasti gundah karena tidak lagi berbuat curang dan sewenang-wenang lagi.

Namun, paradigma ini tentu lebih disukai PKL (juga orang-orang berbudi lainnya) karena bukan hanya manusiawi, tetapi juga memungkinkan mereka untuk mengasah kepekaan bisnis. Jika paradigma ini diterapkan, pada awalnya mungkin PKL yang bersangkutan hanya akan mencari lokasi-lokasi strategis saja; tetapi kelak , manakala sadar bahwa mereka harus melihat dari sudut pandang pembeli, mereka akan tercerahkan oleh prinsip market concern: bahwa berbisnis itu mestilah memiliki kepekaan terhadap bagaimana pasar merespon apa yang ditawarkannya dan membuka ruang 'dialogis' antara pembeli-penjual.

Market concern itu akan menggantikan yang selama ini mereka anut, yakni, saya sebut saja, “tramtib concern” alias cuma memperhitungkan bagaimana “merespon” maunya Satpol PP atau tramtib atau entah petugas apa namanya itu. Sebab, terdapat alasan logis lain, bahwa perkembangan masyarakat tidak akan tertolong oleh pendekatan “tramtib concern” itu karena tiga hal: (1) pelanggengan pola pikir bahwa pejabat atau birokrat itu penguasa terhadap rakyat; (2) sifatnya yang korup dan tidak mendidik orang berbisnis secara benar; (3) tidak mengasah sikap kewirausahaan yang cermat melihat kebutuhan pembeli dan menyikapinya secara positif.

Nah, masih adakah yang bertahan di jalan yang keblinger? *

//credit foto: nurlaili-okezone//

Gelatik di Yogya

Sampai tahun 1950an burung gelatik Jawa (Padda oryzivora) sangat mudah ditemukan dalam kelompok-kelompok besar di pedesaan Jawa. Kini burung hama padi yang warnanya ngejreng itu kian sulit ditemukan. Kalau Anda melongok MacKinnon (1995), disebutkan itu terjadi karena penangkapan massal untuk binatang piaraan. Tetapi pemerhati burung yang lain, van Ballen, menduga itu terjadi karena efisiensi penggilingan padi yang tidak lagi memberikan kesempatan kepada burung-burung itu untuk mengambil padi dengan mudah.

Apapun halnya, keberadaan gelatik Jawa ditilik dari segi konservasi memang mulai bermasalah. Jika dulu 10-an tahun lalu di Ngadiluwih, Kediri, Jawa Timur, kampung halaman saya, masih amat mudah kita menemukan burung kebiruan berparuh merah berpipi putih itu beramai-ramai melintasi bulak, kini menemukannya dalam kelompok kecil saja sudah merupakan surprise.

Apalagi di kota-kota besar, di kota seperti Yogya pun sudah sulit. Di Bantul saja, setiap melintasi persawahan ―yang cukup banyak saya temukan dalam coverage wilayah kegiatan saya― saya selalu berharap menemukan burung itu melintas dalam pandangan. Dan saya selalu saja kecewa. [Tetapi di Sragen, tidak demikian halnya ― soal ini akan saya ceritakan lain kali. Insya Allah.]

Makanya ketika diberitakan di koran-koran akhir April lalu bahwa di Hotel Melia Purosani, sebuah hotel mewah di provinsi ini, ditemukan pepohonan tempat berbiak secara alami bagi rice finch ini, para pemerhati seperti bersorak. Tidak terbayangkan sebelumnya kalau wilayah Kotamadya Yogyakarta memiliki ‘kemewahan’ alami seperti itu. Di Bantul, Gunungkidul, Kulon Progo atau Sleman sekalipun orang masih berharap menemukan gelatik ― tetapi tidak di Kota. [Kang Hery, si “wagiman” alias walikota gila taman yang memimpikan Kota Yogyakarta yang kian peduli lingkungan dan pro-konservasi itu, tentu gembira karenanya.]

Di sini, melalui blog ini, bolehlah saya ikut merayakan itu ― meski rada telat. Saya memang ketinggalan informasi tentang perburungan selama 2-3 tahun terakhir ini [yah, alasannya sih kesibukan kerja ― klasik bagi birdwatcher amatir :-)]. Sebab, ada informasi di Puslit LIPI, Bogor, gelatik Jawa sudah ditangkarkan sejak 2 tahun lalu.

Sekadar berbagi, di halaman ini saya scan ilustrasi dari buku klasik perburungan, Birds of Malaysia. (Gambar warna berasal dari McKinnon, Burung-Burung di Jawa dan Bali.) Buku karya Delacour terbitan 1947 itu merupakan salah satu buku tertua tentang burung-burung di Indonesia, meskipun judulnya menyebut negara tetangga, Malaysia. Saya kesengsem dengan goresan ilustratornya ―namanya Earl L Poole― yang serasa hidup, meski ditorehkan dengan mantap, tandas, bold. *

Da Vinci dan Angels bagi Vatikan

Diberitakan bahwa film Angels-Demons ditanggapi dingin oleh Vatikan. Beberapa koran menyebut bahwa Vatikan sudah belajar dari film DaVinci Code yang dulu direspon sengit oleh Vatikan, yang malah membuat film itu laku keras.

Bagi saya, itu terjadi bukan karena apa-apa, melainkan karena Gereja tidak terlalu ‘takut’ kepada Angels-Demons.

Sebagaimana diketahui, Dan Brown menulis dua buku tentang sejarah kelam gereja, yang keduanya difilmkan dan sama-sama dibintangi Tom Hanks. Film pertama, DaVinci Code, memancing kontroversi panjang lantaran ceritanya ‘menggoncang iman Kristen’ secara telak. Film kedua, ya Angels-Demons itu, yang beredar mulai 19 Mei lalu.


Pengguncang iman

Angels-Demons itu tidak terlalu menggoyah iman. Berbeda dengan DaVinci Code, yang menjungkirkan pokok-pokok keimanan Kristen, khususnya tentang penuhanan Yesus. Bertolak dari kajian sejarah (yang dianggap spekulatif oleh Gereja, tetapi semakin bisa dibuktikan riil oleh fakta sejarah), digambarkan bahwa Yesus diangkat sebagai tuhan oleh suatu forum politis yang diprakarsai Kaisar Constantine. Dalam forum itu para pemuka aliran-aliran agama Kristen dari kubu bersebrangan, yaitu yang (saya sebut saja) “pro-penuhanan” dan yang “pro-pemanusiaan” Yesus, saling bertemu untuk berembug. Kedua kubu selama puluhan tahun saling bertikai sampai saling menumpahkan darah. Kaisar Constantine berkepentingan untuk mempertemukan mereka demi perhitungan politiknya sendiri.

Yang pro-penuhanan adalah mereka yang tidak setuju jika Yesus hanya dijadikan nabi atau pemimpin agama; yang dengan itu legitimasi dan loyalitas penganutnya diharapkan total, bukan kepada siapa-siapa melainkan kepada pendeta dan pemimpin agama Kristen yang tengah membangun lembaga gereja. Itu berbeda dengan yang pro-pemanusiaan Yesus. Bagi mereka ini, Yesus adalah nabi dan pemimpin spiritual; namun sebagaimana umumnya orang Yahudi seusianya, ia menikah dan berkeluarga. Hal demikian sangat ditentang oleh yang pro-penuhanan Yesus. Sebab, yang disebut Tuhan haruslah lepas dari hal-hal ‘manusiawi’ seperti itu.

Pertikaian di antara mereka begitu sengitnya. Nah, dalam forum yang disebut Konsili Nicea itulah penuhanan Yesus memperoleh kemenangan setelah melalui semacam voting. Sebaliknya, pihak pro-pemanusiaan Yesus, meskipun kalah dalam forum, mereka kemudian menyisihkan diri seraya membawa dan mengamankan anak-keturunan Yesus, yang diburu-buru oleh pemenang voting, bahkan sampai kini. Sepanjang zaman mereka diburu-buru. Alasannya, dapat dimaklumi, merupakan persoalan hidup mati: eksistensi mereka merupakan ancaman bagi eksistensi lembaga gereja seperti yang kita temui sekarang.

DaVinci Code memang mengguncang iman Kristen dan kekuasaan gereja. Secara luas film itu menerbitkan gelombang penggerusan iman, yang dampaknya diperhitungkan bakal mengganggu kemapanan gereja. Gereja, yang mengukuhkan kekuasaan lewat doktrin tak-boleh-dibantah pasca Konsili Nicea itu, berusaha mencegat DaVinci Code dengan pelbagai cara.

Protes-protes diajukan; upaya merintangi pembuatan film dilakukan. Sampai-sampai penerjemahan teks dalam bahasa-bahasa setempat pun dihalang-halangi. Di Indonesia, misalnya, bagian yang memuat sejarah kelam gereja itu dilarang diterjemahkan. Sehingga film DaVinci Code yang beredar di sini selama 11-an menit tanpa terjemahan.


“Menyerang Wei demi menyelamatkan Zhao”

Namun semua itu tidak menghalang-halangi kesuksesan DaVinci Code. Hampir di semua gedung bioskop ia menjadi box-office. Itu berlangsung berbulan-bulan; dan masih akan terus bergulir demikian manakala film itu diedarkan ke seluruh dunia. Dampak di masyarakat pun luar biasa: orang semakin banyak yang melek terhadap sejarah kelam gereja: sejarah penyia-nyiaan keturunan Yesus; sejarah absurd yang luar-biasa. Ya, begitu absurdnya sampai-sampai semua bukti tertulis tentang itu diamankan gereja begitu rupa, kalau tidak dimusnahkan. Maksudnya jelas: supaya pelanggengan kekuasaan Gereja bisa dipertahankan. Gara-gara DaVinci Code orang Kristen jadi bimbang, bahkan menjadi murtad; setidaknya menjadi curiga kepada doktrin-doktrin Gereja.

Nah, pihak gereja yang amat kuatir tidak bisa membiarkan gelombang penggerusan iman itu berlangsung terus mengikuti pola multiplier effects. Mereka kemudian menemukan cara yang ampuh untuk menggeser isue itu. Kiatnya sungguh cerdik dan licin. Yakni: dilemparkannya isue pengalihan, yang akan membuat perhatian tidak lagi fokus ke persoalan iman kristiani itu melainkan ke hal lain. Bahkan ini bisa menjadi pukulan balik, ibaratnya “kalau gue jatuh, ente pun musti ikut”.

Bagaimana wujud konkretnya? Pihak gereja (yang diampu sendiri oleh Paus), melemparkan isue yang menghina umat Islam ke tengah masyarakat (saat ia melawat ke Jerman); dengan perhitungan hal itu pasti akan ditanggapi serius oleh umat Islam di mana pun berada.

Kejadiannya dimulai dari sebuah pidato di Universitas Regensburg, Bavarian Jerman, pada 12 September 2006, Paus Benediktus XVI mengutip kaisar kristen kerajaan Byzantium dari abad ke-14, Manuel II Paleologos. Dalam sumber yang diacu oleh Paus, Manuel II berdebat dengan cendikiawan Persia. “Nabi Muhammad telah merampas tanpa kemanusiaan. Seperti perintahnya menyebarkan agama yang ia serukan dengan pedang, ” demikian pernyataan Manuel II Paleologos, sebagaimana dikutip Paus. Tak cukup itu, Paus juga mengatakan, bahwa jihad atau perang suci tidak selaras dengan tabiat ketuhanan dan tabiat jiwa manusia. Karenanya, ia menilai saat ini sangat penting digelar dialog antara dua dunia besar, dunia Kristen dan dunia Islam.

Benar saja, reaksi kaum muslimin akan ditentukan oleh kualitas isue yang dihembuskan. Karena isue yang dilontarkan bernada menghina Nabi Muhammad, maka pastilah reaksi orang Islam (yang sangat menghormati nabinya) akan sangat sengit pula.

Nah, jadilah itu isue pengganti yang berlangsung dalam skala internasional. Negara-negara Islam menjadi geram; di mana-mana orang Islam menuntut agar Paus mencabut ucapannya. Vatikan sudah tentu tidak langsung manut. Dibiarkannya kontroversi itu berlangsung beberapa lama, kian sengit kian baik; dan hasilnya pun menindih isue DaVinci Code. Dunia pun lupa membincangkan nestapa sejarah Yesus. Setidaknya orang tidak lagi membahasnya secara yang dramatis.

Dalam strategi perang Cina Kuna, kiat Paus semacam itu dikenal dengan “Wei wei jia zhao” atau “Menyerang kerajaan Wei untuk menyelamatkan kerajaan Zhao”. Dengan “menyerang kerajaan Wei” (menghina Nabi Muhammad), Paus berusaha “menyelamatkan kerajaan Zhao” (mencegah penggerusan iman secara kolektif). Meskipun DaVinci Code mulai beredar bulan Mei, dan goro-goro yang dibuat Paus berlangsung pertengahan September, saya tidak bisa berhenti berpikir bahwa hal tersebut bukan kebetulan. Soalnya, kerusakan akibat DaVinci Code masih terus berlanjut. Lagi pula, di belahan bumi lain DaVinci Code masih akan terus diputar (dan tetap menjadi upaya dekatolikisasi) entah sampai kapan.

Demikian kasus DaVinci Code dulu.

Adakah kini, setelah Angels-Demons beredar, Gereja juga akan melakukan upaya pengalihan perhatian serupa itu? Saya pikir kini gereja tidak akan melakukan hal serupa. Sebab, Angels- Demons tidak terlalu mengguncang iman seperti halnya DaVinci Code. Namun, kalau kelak ternyata Angels-Demons mengulangi dampak DaVinci Code, ada kemungkinan Gereja akan berbuat yang sama.

Kita lihat saja nanti. Wallahu alam.

Samberlilen, Helen dari Troya & Ken Dedes


Sampai 10-an tahun yang lalu masih mudah kita menemukan serangga bersayap keras, berwarna biru, merah, jambon atau ungu metalik, berkilat-kilat indah, badan berbentuk oval-panjang ukuran + 5 cm. Serangga cantik itu biasa disebut samberlilen; kadang juga disebut kumbanglilen. (Jangan keliru dilafalkan “lilin”, lho.) Nama ilmiahnya, konon, Chyrsochroa buqueti . Kini sulit sekali kita menemukan makhluk Tuhan yang satu itu ― apalagi di perkotaan.

Jumat lalu, lewat tengah malam, kami yang sedang dapat giliran ronda, terhenyak gembira karena salah seorang teman berseru, “Ada samberlilen di pohon itu!” Ia mengarahkan senternya ke gerumbul daun nangka. Kami berhamburan meninggalkan kacang godog, pisang goreng, dan aneka penganan lainnya, untuk menyongsong makhluk cantik itu.

Tetapi kami semua kecewa. Serangga itu sudah lenyap. Ia entah menghilang, bersembunyi di balik reriungan daun, atau jangan-jangan teman kami itu hanya berangan-angan. Dugaan terakhir itu disanggah sengit oleh yang bersangkutan.

Dia mengaku sudah lama tidak melihat samberlilen. Dia masih ingat saat terakhir menemukannya, di pucuk srikaya di rumah familinya. Yang lain menimpali bahwa serangga itu mungkin sudah musnah di sekitar daerah persawahan yang banyak disemprot pestisida. Logikanya sederhana, ujar teman yang kini terpilih menjadi anggota dewan: “Dia kan makan serangga lebih kecil, yang sudah habis karena pestisida itu. Maka samberlilen merupakan kurban langsung atau tak langsung dari program intensifikasi pertanian.”

Saya menyahut bahwa ada faktor penting yang lain lagi: samberlilen dipercaya punya tuah tertentu. Bukankah ada istilah “susuk samberlilen” yang ditawarkan oleh pemberi jasa (dukun) tertentu? Saya nggak tahu apakah itu sekadar istilah (misalnya untuk menyebut kondisi seseorang yang mencorong indah seperti samberlilen), atau memang serangga itu yang dijadikan ‘kurban’.

Tetapi jelas, saya masih ingat, betapa nenek saya dulu bercerita betapa dia pernah punya bros samberlilen berpeniti emas. Konon samberlilen diawetkan, lalu peniti emas dibungkus dengan kerangka tubuh serangga itu. Keindahan serangga itu bakal bertahan dan tidak akan luntur sampai waktu yang lama.

Ironis sekali: Kecantikan itu akhirnya mencelakakan dirinya sendiri. [Saya jadi teringat kepada para perempuan jelita seperti Dewi Sinta, Helen dari Troya, Ken Dedes dan entah siapa lagi. Nasib karena anugerah kejelitaan mereka sungguh seperti samberlilen….]

Saya tetap berharap kapan-kapan akan menemukan samberlilen entah di mana. Tidak cuma melihat dari gambar perangko [lihat di: http://www.menlh.go.id/perangkohlh/]. Mungkin seperti yang dialami teman fotografer Bagus Survianto [http://www.fotografer.net/isi/galeri/lihat.php?id=847549] di Malang, yang secara tidak sengaja menemukan serangga itu hinggap di helm, lalu mengabadikannya yang saya tempel hasilnya di sini. [Trims, mas Bagus.]

Saya ngungun, kelangkaan samberlilen sudah menerbitkan kangen yang aneh di hati saya. *

Tarik Ulur Kepentingan dalam Masalah Perumahan

Persoalan pemukiman di Yogyakarta semakin hari sudah semakin kompleks, sejalan dengan pertumbuhan kota dan kebutuhan warga akan pemukiman yang layak. Tarik menarik antara tuntutan kebutuhan, keterbatasan atau ketersediaan lahan serta sarana-prasarana pendukung, berhadapan dengan regulasi tentang RTRW (rencana tata ruang dan wilayah), memunculkan permasalahan yang seringkali bersifat konfliktual.

Sebagai lembaga yang diamanati untuk mendorong terwujudnya tata kelola usaha yang beretika dan berkelanjutan, LOS berada di tengah-tengah relasi dan kepentingan para pihak tadi, dalam posisi sebagai katalisator proses yang produktif menuju penguatan etis. Sampai kini permasalahan perumahan termasuk bidang yang cukup banyak diadukan ke LOS ―sampai proporsi 20% dari keseluruhan kasus― dengan variasi permasalahan berupa perijinan/ legalitas lahan, kiat penjualan yang patut diduga memperdayai konsumen, persoalan bestek dan layanan purna jual. Proporsi sedemikian itu juga mengindikasikan magnitude permasalahan di masyarakat juga sebanding, atau malah lebih besar, ditilik dari kualitas dan kuantitasnya.

LOS berupaya melakukan pendekatan terhadap kasus aduan dari dua tataran, yakni penyelesaian masalah secara langsung pada tingkat pelapor-terlapor dan tataran pengkondisian kebijakan makro atau sub–makro yang pro-etis. Pendekatan demikian diharapkan memiliki dampak taktis dalam jangka panjang, karena ibaratnya LOS tidak hanya menengok ke pancuran di hilirnya, namun juga memperhatikan sumber air di hulu.

Maka terhadap setiap kasus akan selalu didalami dari kedua tataran itu, sehingga permasalahan perumahan pun juga diperiksa sampai ke permasalahn suprastruktur aturan hukum yang berlaku. Dari uraian itu kita sampai ke pertanyaan-pertanyaan permukiman/perumahan yang terentang dari hilir ke hulu sebagai berikut:

(1) Mengapa terjadi wanprestasi dalam hubungan antara pengembang dan konsumen?

(2) Mengapa terjadi penyimpangan bestek, apakah karena kesalahan etimasi dan teknis, ataukah karena perubahan situasi dan kondisi ekonomi yang yang demikian drastis, sehingga para pihak menyesuaikan diri secara negatif? Ataukah para pihak kurang memahami hak-kewajiban masing-masing?

(3) Bagaimana peran pemerintah sebagai regulator? Sudahkah bertindak melindungi kepentingan para pihak secara sistemik? Dalam hal apa saja tindakan pemerintah diperlukan untuk membangun tata kelola yang etis dan berkeadilan?

(4) Adakah masukan dan kritik bagi pemerintah, pengembang, asosiasi pengembang (mis REI), lembaga konsumen dan konsemen sendiri -- kesemuanya bukan hanya untuk penyediaan pemukiman yang etis dan berkeadilan, namun juga yang bermakna bagi penguatan modal sosial. Adakah yang demikian? ****


Dari Michigan Belajar tentang Kultur dan Gempa di Yogya

15 orang remaja belia bertubuh bongsor itu datang dari pelbagai fakultas di University of Michigan (UM), AS, untuk melongok Yogyakarta setelah gempa. Mereka terdiri dari tiga perjaka dan 12 gadis, dengan diiringkan oleh pimpinan fakultasnya, Agustini, yang asli Purwokerto.

“Sesungguhnya ada lebih dari 100 orang mahasiswa yang berminat ke Indonesia,” ujar Agustini, dosen Bahasa Indonesia di UM, menjelaskan kepada tuan dan puan rumah di Kantor Lembaga Ombudsman Swasta (LOS) DIY. “Namun karena keterbatasan tempat, kami harus menyeleksi dan memilih 15 orang saja.”

Mereka berasal dari bidang studi seni, politik, kebijakan publik, biologi sampai astronomi. Namun mereka datang ke Yogyakarta dengan fokus belajar tentang pengalaman antar-budaya, khususnya problematika pasca gempa. Itulah sebabnya di LOS banyak menanyakan perihal kebijakan terhadap kesulitan masyarakat yang dirundung musibah gempa. Mereka mencecar Supriyono, anggota LOS yang memandu acara, tentang bagaimana masalah kesehatan masyarakat direspon di puskesmas dan rumahsakit.

“Kami juga akan bertamu kepada Bupati Bantul,” jelas BRM Bambang Irawan, dosen Universitas Sebelas Maret (UNS), yang bertindak sebagai tuan rumah. “Mereka ingin tahu apa saja langkah-langkah politik-ekonomi pasca gempa yang diambil pemerintah.”

LOS-DIY dipilih sebagai salah satu item kunjungan. Tujuannya untuk melihat bagaimana lembaga ini menyikapi persoalan-persoalan pasca gempa yang terkait dengan kebijakan ekonomi-politik, kesehatan dan permukiman. Maka hari Selasa ini (19/5) remaja-remaja bule yang baru belajar Bahasa Indonesia itu pun mengikuti diskusi terarah di LOS tentang masalah-masalah perumahan dan pemukiman dengan sejumlah pihak. Hadir dalam diskusi tersebut unsur BPPD (Badan Pengendalian Perumahan Daerah) Sleman, Kimpraswil, BPN (Badan Pertanahan Nasional) Sleman, Ketua REI DIY Remigius, konsumen perumahan, anggota DPRD DIY Imam Sujangi, beberapa pengembang, juga pakar pemukiman Yogyakarta lulusan Jerman, Ilya Mahardika. ****