Gus Farid

Avatartentang pengharapan dan kegelisahan terhadap "good society" di Indonesia

Intim Posesif & Emoh Posesif di Malaysia

Kisah dua perempuan Indonesia di Malaysia menunjukkan betapa sulitnya mempercayai manusia.

Cerita ini menyangkut dua anak manusia: seorang bernama Manohara, masih belia; dan Siti Hajar, perempuan baya. Tulisan ini berasumsi bahwa berita-berita tentang keduanya akhir-akhir ini benar adanya. Manohara menikah dengan anak raja Kelantan bernama Muhammad Fakhry; Hajar bekerja sebagai pembantu rumahtangga pada seorang Cina janda bernama Michelle.

Kedua perempuan Indonesia itu tidak pernah bertatap muka; keduanya hanya bertemu dalam kesamaan nasib: disia-siakan orang yang semula menjadi harapannya.


Tentang si Belia

Si gadis menikah dengan Fakhry. Semula mungkin dengan baik-baik saja; tetapi mungkin juga bukan. Kita tidak bisa pasti apakah seperti kisah Cinderella ataukah lebih mirip diperkosa. Tetapi sesudahnya Manohara mengaku mengalami hari-hari yang berat sebagai istri, yang diperlakukan sebagai sekadar barang. Lalu, pada 31 Mei ia lolos dari kungkungan suaminya, saat berada di satu hotel mewah di Singapura.

Kejadian lolosnya Manohara itu hanyalah lanjutan dari kisah berminggu-minggu sang ibu bergelut dengan pelolosan diri dari (konon) woman traficking, yang dialami sosok kelas menengah. Dugaan perdagangan manusia memang meruyak di kalangan aktivis perempuan. Satu versi menyebut bahwa semula si ibu tidak menyadari hal demikian yang terjadi. Pada saat dia ngeh, dia pun kaget, lalu hibuk mencari perhatian publik.

Manohara dalam wawancara eksklusif dengan stasiun TV-One, setelah lolos di hotel mewah penuh fasilitas di Singapura, bercerita tentang detil pelariannya dari pelbagai rape, sexual harrasment, penyiksaan dan penyiletan tubuhnya oleh sang suami. Dia masih tampil sebagai selebritas; menjaga penampilan, dengan tutur kata yang agak ‘akademis’, cerdas, wajah cerah, tidak terlalu tampak susah.

Namun apa yang dipaparkannya menyembulkan kengerian. Kengerian terhadap kemungkinan buruk pemegang kekuasaan; yang menyebabkannya seperti kebal hukum; bergelimang perlakukan khusus dibanding anak negeri lainnya. Anak raja Kelantan itu, dengan wajah yang tidak terlalu cerdas, dengan mulut mengatup lemah, tampak santun di muka umum ― menjadi serigala di baliknya. Terlebih dalam kondisi pers Malaysia yang seperti tersensor rapi, yang menyebabkan publik tidak tahu-menahu tentang kisah-kisah tak sedap di balik dinding istana. [Ya, baru belakangan pers Malaysia memberi perhatian tentang kasus ini.]

Itulah sebabnya Manohara hanya dikenal sebagai gadis beruntung, sebagai Cik Puan Temenggung yang ayu, yang menikah dengan pangeran baik-baik idaman perempuan sahaya. Publik Malaysia sama sekali tidak menganggapnya sebagai kurban kekerasan dalam sekapan rumahtangga istana. Pers Malaysia sepenuhnya bisu; terpasung kekuasaan dinasti ala tribalisme; mandul dari sikap kritis. Baru belakangan Manohara menyebabkan berhembus angin baru berita lain dari sana, yang meruapkan kisah tak sedap bergelimang sahwat di istana.

[Dalam koteks ini, Istana Kelantan pasti akan mati-matian membela diri dengan pelbagai cara. Sebab, pertaruhannya sungguh luar-biasa. Kita akan saksikan nanti. Insya Allah, dalam waktu yang tidak terlalu lama.]


Tentang si Perempuan Baya

Nama Hajar melengkapi drama-drama tragedi perempuan pencari kerja di Arab dan Malaysia. Ada banyak nama, terakhir adalah Eci dan Nuraini setelah nama Hajar disebut-sebut. Mereka melengkapi kisah TKW ― termasuk Manohara, itu kalau dia bisa digolongkan ‘pencari kerja’.

Sudah tiga tahun Hajar, perempuan dari Jawa Barat, itu berada di Malaysia dan selama itu pula ia menanggungkan deraan penganiayaan fisik dan psikis dari majikannya sesama perempuan. Luka-luka melepuh akibat guyuran air panas dan lebam akibat pukulan di tubuhnya ―yang sudah pula dikonfirmasi dokter― menjadi bukti bahwa manusia bisa jadi lebih berbahaya dibanding hewan buas yang biasanya dihindari.

Hajar dipermak oleh (gawatnya) seorang perempuan pula, Hau Yuang Tyng yang sebelumnya dikenal sebagai Michelle. ‘Output’ dari perlakuan terhadapnya kelihatan betul kalau Anda melihat perempuan dari Kampung Lio Wetan, Limbangan Barat, Garut, itu. Televisi menyangkan gambarnya: Mukanya lebam, kulit leher dan punggung tampak cedera bekas siraman air panas. Luka-luka lainnya tampak di sana-sini, yang konon semua karena ulah sang majikan.

Bahkan luas dilansir media, janda berumur baya itu tidak pernah bisa mengirimkan uang kepada kedua anaknya di kampung, lantaran tidak pernah menerima gaji.


Kucing dan Cerpelai

Kisah kedua perempuan itu sama tetapi berbeda.

Relasi Manohara dengan suaminya memperlihatkan relasi “intim yang posesif”; sementara Hajar dan majikannya adalah relasi “emoh tetapi juga posesif”. Kedua kurban sama-sama “dibendakan” oleh sang tuan, diaku sebagai miliknya, diperlakukan sesuai instink primitif masing-masing, seumpama kucing mempermainkan tikus atau cerpelai mempermainkan ular.

Saya melihat sejumlah faktor berjalin-berkelindan dalam kasus ini, yakni: (1) orientasi kepada pencarian kekayaan yang menggerakkan kedua perempuan pergi ‘merantau’; (2) kekuasaan yang tanpa daya kritis dan tanggungjawab; (3) etika pribadi yang dimanipulasi demi kepentingan primitif berjangka pendek; (4) pers yang mandul, tidak mengembangkan kontrol organik; (5) Indonesia Embassy yang kelewat lamban, gagap, tidak memiliki kehormatan diri untuk melindungi warganya sendiri.

Saya memahami peristiwa itu karena hal berikut: para penganiaya itu, sadar atau tidak, didorong oleh persepsi bahwa perbuatannya tidak akan dipertanggung-jawabkan. Tidak di sini, tidak pula kelak di kemudian hari.

Saya memang hanya mengaduh lewat tulisan ini ― Nabi menyebut tindakan saya ini “selemah-lemah iman” karena tidak berupaya lebih keras lagi.

Saya memang hanya mengaduh dan menangisi manusia. *

0 komentar:

Posting Komentar