Gus Farid

Avatartentang pengharapan dan kegelisahan terhadap "good society" di Indonesia

Solusi Taktis Harapan Semua

SITI Khaiyarah (4 tahun) sudah kembali ke Sang Khalik. Bocah itu meninggal setelah beberapa hari menanggungkan derita akibat ketumpahan kuah panas, saat lapak bakso bapaknya digusur Satpol PP Surabaya. Dia merupakan dampak ke sekian dari paradigma ‘keblinger’ penanganan PKL.

Keblinger? Apanya yang keblinger?

Ya, sampai hari ini nyaris semua orang mengidap pandangan yang salah terhadap PKL.
Mulai dari pengamat, pemberdaya masyarakat sampai birokrasi umumnya memiliki kesamaan dalam memandang keberadaan PKL di perkotaan Indonesia.

Nyaris semuanya melihat persoalan sosial yang muncul dari (dan berujung pada) PKL itu tidak dalam kacamata yang utuh. Bahkan sejumlah birokrat dan oknum DPRD melihat PKL ibarat “musuh ketertiban”. Akibatnya, penanganan terhadap masalah yang muncul dari situ pun keliru juga.

Apanya sih yang salah dalam pandangan kebanyakan orang terhadap PKL itu? Mungkinkah itu dibenahi? Di bawah ini jawaban dari perspektif yang berbeda.

Selama ini PKL dilihat seolah sendirian berada di ruang publik yang hampa, yang tidak ada pihak-pihak lain di situ. Fakta itu , entah bagaimana menutup mata banyak pihak, sama sekali melupakan fakta lain bahwa PKL tidak bakalan ada jika tidak ada yang mendukung eksistensinya, yakni pembeli. Kalau ada pedagang kakilima, maka di situ pasti juga ada pembeli kakilima. Secara eksistensial mereka saling menguatkan, PKL itu saudara kembar dengan pembeli kakilima.

Manakala mencoba mengatasi dampak ikutan dari adanya PKL seraya melupakan fakta adanya pembeli kakilima, maka solusi yang diajukan pun pastilah sumir, sepenggal-sepenggal, tidak kontekstual, dan tidak adil.



LIHAT saja apa yang terjadi selama ini: PKL dikejar-kejar petugas Satpol PP atau tramtib atau entah apa namanya , yang didukung Perda atau aturan produk birokrasi yang (seolah) legitimate. Lapak mereka , yang tidak lain adalah modal mereka bekerja, disita; lalu rusak, kalau tidak bisa ditebus pada waktunya. Kalau bisa ditebus pun, harganya lumayan tinggi; yang notabene menjadi cost yang akan membebani mereka seterusnya.

Jika lapak dan barang-barang itu diperoleh dari utang, lalu ditambah dengan ongkos menebus barang-barang itu ke petugas, maka kian lama PKL yang tergusur itu kian terjerat utang. Mereka akan bertahan dalam jepitan utang dan bunga dan beban biaya lainnya itu begitu rupa , sehingga akumulasi kerumitan itu akan melanggengkan kemiskinan atas mereka! Sungguh social cost yang harus ditanggung masyarakat dari kebijakan yang keliru itu begitu tingginya.

Ataukah memang kita sedang melakukan pemiskinan? Itulah guyonan di kalangan pemerhati: Siapa tahu karena Undang-Undang Dasar menyebut “fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”, maka ada pihak-pihak yang ingin mempelesetkan makna “dipelihara” itu menjadi “melestarikannya”, jangan sampai berkurang adanya!



COBA, jika paradigmanya dibalik: Jika Anda bermaksud menyingkirkan PKL dari satu trotoar, mulailah dari mengatur pembeli kakilima. Mula-mula peringatkan pembeli itu bahwa mereka akan didenda Rp50 ribu (atau angka yang pantas lainnya) jika berbelanja di situ. Selama beberapa waktu bolehlah Anda agak lunak, penuh toleransi terhadap mereka. Tetapi nanti ada saatnya Anda harus tegas, tanpa kompromi, terhadap pembeli kakilima yang melanggar.

Kemudian, lihatlah apa yang terjadi.

Jika pembeli kakilima sekali-dua menemukan ketegasan Anda dalam penegakan denda tadi, maka tidak akan memakan waktu lama trotoar Anda bakal dijauhi pembeli kakilima untuk seterusnya ibarat menjauhi ulat gatal. Sampai di sini, apakah Anda kira PKL masih akan bertahan di situ? Ya, jelas tidak-lah yauw!

PKL yang sepi pembeli, tidak mungkin bertahan di trotoar Anda sehari lebih lama lagi. Mereka pasti akan pergi mencari tempat yang lebih ‘aman’ untuk berjualan. Modal bisnis mereka tidak perlu diutik-utik. Sehingga mereka juga tidak perlu terbebani ongkos macam-macam. Mereka tidak perlu dikejar-kejar, didenda, dibentak-bentak, digaruk lapaknya, dihinakan, disakiti.

Tidak perlu muncul duka-derita bocah seperti Siti Khaiyarah yang sedang lucu-lucunya itu lagi.



MUNGKIN sejumlah oknum akan tidak nyaman dengan pergeseran seperti itu disebabkan jaminan bagi pemeliharaan atas kepentingannya menjadi terganggu. Oknum tramtib yang nakal, yang selama ini menikmati tebusan-tebusan atas barang yang disita, atau menikmati ongkos “tutup mata” seolah tidak melihat ada PKL di situ, atau yang suka menikmati 'rasa berkuasa' dengan mengejar-ngejar PKL, sudah pasti gundah karena tidak lagi berbuat curang dan sewenang-wenang lagi.

Namun, paradigma ini tentu lebih disukai PKL (juga orang-orang berbudi lainnya) karena bukan hanya manusiawi, tetapi juga memungkinkan mereka untuk mengasah kepekaan bisnis. Jika paradigma ini diterapkan, pada awalnya mungkin PKL yang bersangkutan hanya akan mencari lokasi-lokasi strategis saja; tetapi kelak , manakala sadar bahwa mereka harus melihat dari sudut pandang pembeli, mereka akan tercerahkan oleh prinsip market concern: bahwa berbisnis itu mestilah memiliki kepekaan terhadap bagaimana pasar merespon apa yang ditawarkannya dan membuka ruang 'dialogis' antara pembeli-penjual.

Market concern itu akan menggantikan yang selama ini mereka anut, yakni, saya sebut saja, “tramtib concern” alias cuma memperhitungkan bagaimana “merespon” maunya Satpol PP atau tramtib atau entah petugas apa namanya itu. Sebab, terdapat alasan logis lain, bahwa perkembangan masyarakat tidak akan tertolong oleh pendekatan “tramtib concern” itu karena tiga hal: (1) pelanggengan pola pikir bahwa pejabat atau birokrat itu penguasa terhadap rakyat; (2) sifatnya yang korup dan tidak mendidik orang berbisnis secara benar; (3) tidak mengasah sikap kewirausahaan yang cermat melihat kebutuhan pembeli dan menyikapinya secara positif.

Nah, masih adakah yang bertahan di jalan yang keblinger? *

//credit foto: nurlaili-okezone//

0 komentar:

Posting Komentar