Gus Farid

Avatartentang pengharapan dan kegelisahan terhadap "good society" di Indonesia

Omnivora


Manusia memang pemakan segala.

Seorang blogger menulis tentang kuliner ulat sagu di Papua, yang diolah menjadi sate. Wah, tampaknya lezat juga.

Sate memang mudah ditemukan di mana-mana. Nyaris seperti rumah makan Padang. Umumnya sate kambing atau sapi atau ayam. Yang terakhir ini dipopulerkan oleh saudara-saudara kita dari Madura.

Di Yogyakarta menu sate biasanya dilengkapi dengan alternatif sate non-bakar, yang disebut tongseng, yang sesungguhnya adalah ca daging. Ini agak berbeda dengan di Jawa Timur, misalnya di kota-kota seperti Surabaya, Kediri, Tulungagung atau Madiun, Kalau di kota-kota tadi alternatif menunya adalah gulai atau kari, hampir sama dengan di kota-kota Jawa Tengah.

Di Kota Pelajar ini sate dan tongseng juga punya raw material beragam. Ada yang jelas halal dan thayib, juga yang halal tetapi kurang biasa; lalu yang samar-samar; yang subhat, sampai yang betul-betul haram.


Manusia memang pemakan segala.

Sekadar eksplorasi ringan, saya menemukan pelbagai warung-warung unik.
Di dekat kantor saya, Lembaga Ombudsman Swasta (LOS), ada sate ular. Warungnya sederhana tetapi konon banyak juga penggemar fanatiknya. Di Jl Parangtritis (dalam bahasa gaul disebut Paris) ada sate kuda ― juga di beberapa jalan lain.
Ke selatan 5-6 kilo kita bisa menemukan Resto Pulo Segaran yang menyediakan menu aneh dan unik, mulai dari sate burung emprit (pipit, bondol), angsa, anak ayam (kuthuk) sampai bajing atau tupai.

Masih di arah selatan, yakni jalan menuju Pantai Samas Km 6, ada juga sate dan tongseng codot atau kelelawar pemakan buah. Anak sekolah mengenal itu dari keluarga Pteropodiniae, tetapi saya tidak tahu jenis apa yang dijajakan itu. Mungkinkah itu jenis Eonycteris spelaea yang sangat membantu manusia dalam hal penyerbukan pohon randu, petai, durian dan pelbagai tanaman komersial lainnya? Ataukah itu Cynopterus brachyotis? Tetapi apapun, codot-codot itu sesungguhnya merupakan mitra manusia karena ‘kinerja’ penyerbukannya!

Baru-baru ini, sepulang bertamu ke Bupati Gunungkidul Suharto, saya dan teman-teman mampir ke warung Sego Abang yang menyajikan makanan khas desa. Kami memang kekenyangan menyantap lalaban, wader goreng dan aneka sayur lodeh yang pedas-lezat-cita. Di situ pula kami ketemu dengan belalang goreng. Saya tidak yakin apakah itu belalang hijau Oxya japonica, Stenocatantops splendens atau Locusta migratoria, tetapi setahu saya itu belalang hama padi.

Terus terang, itu bukan kali pertama saya memakan serangga seperti belalang. Dulu ketika kanak-kanak, bersama saudara-saudara sepupu yang dipimpin Pakdhe di belakang rumah Eyang di Pare, Kediri, kami mencari gangsir. Serangga sejenis jangkerik yang bertubuh tambun itu biasanya kami sate atau digoreng sangrai dengan minyak.


Manusia memang pemakan segala.

Warga kota Kediri pada tahun 1982-an sempat membuat jejak kuliner yang fenomenal. Saat itu, entah siapa yang menjadikan marak, ramai dipiara dan dimasak lalu disebarkan kemana-mana penganan keripik bekicot. Ya, bekicot. Hampir di seluruh telatah Kediri saat itu seperti terjangkit demam memelihara bekicot, untuk dikirim ke seluruh Jawa ― bahkan ke Luar Jawa.

Hampir sewaktu dengan itu, orang Kediri juga berkreasi membuat penganan baru. Kali ini mereka mengolah dan membuat awet buah pisang dengan menjadikannya getuk, dikenal sebagai getuk pisang. Penganan ini melengkapi tahu takua, tahu kuning yang awet, yang juga dikenal sebagai buah tangan dari kota bekas ibukota Kraton Daha itu.

Jika di Prancis konon bekicot atau escargot itu dimuliakan dan dihargai mahal, maka sebaliknya saya termasuk yang tidak doyan menyantap. Saya memang pernah makan lantaran dikibuli saudara sepupu, yang menyebut keripik bekicot dengan keripik paru. Tetapi selain itu, saya tetap ogah bekicot ― sampai kini. Jikalau tidak merasa jijik, saya tetap menganggap bekicot seperti orang alim menyikapi makanan yang tidak dia inginkan: “Saya tidak biasa.”


Di Yogyakarta juga cukup mudah ditemukan penganan atau menu haram ―dari sudut pandang Muslim―, misalnya babi dan anjing. Untuk anjing, supaya lebih enak konon orang tidak menyembelihnya dengan belati, melainkan dengan memasukkan ke dalam karung, lalu menggebukinya sampai mati. Soal derita atau hak-hak hewan, itu di luar pertimbangan mereka. Hal itu supaya darah anjing tidak tertumpah keluar, sehingga lebih gurih atau mujarab.

Mujarab? Ya, karena makanan itu ―termasuk yang aneh-aneh seperti codot dan bajing― disantap makhluk yang bernama manusia karena adanya alasan rada berbau mitos: Merupakan obat untuk penyakit atau sebagai afrodisiak.


Manusia memang pemakan segala.

Namun jika Anda seorang Muslim, atau bermaksud mencari makanan yang halal dan baik, datanglah saja ke Jogja Halal Food Centre, hanya 10 menit dari kampus UGM. Alamatnya di Jl Damai atau Jalan Kaliurang (biasa disingkat Jakal) Km 10, Yogyakarta.

Di rumah makan kakak saya, Mulyono Makhasi, mantan pegawai Depsos itu, Anda akan menemukan pelbagai menu yang bukan hanya dinyatakan halal oleh owner namun juga memperoleh sertifikasi MUI. Tersedia beragam pilihan menu, mulai dari yang khas Jawa, pelbagai soto, masakan Menado, dan entah apa lagi.

Jika Anda sampaikan bahwa Anda datang ke Jogja HFC karena membaca blog ini, insya Allah yang akan Anda peroleh bukan saja makanan yang halal dan thayib, tetapi juga pertemanan dan silaturahmi. ****

0 komentar:

Posting Komentar