Gus Farid

Avatartentang pengharapan dan kegelisahan terhadap "good society" di Indonesia

Hukum (Hanya) untuk Rakyat Kecil

BERTURUT-TURUT PUBLIK DI INDONESIA disuguhi pertunjukan ala parodi tidak lucu selama satu-dua minggu terakhir. Yang menjadi lakon adalah orang-orang kecil, yang sebelumnya tak tercatat dalam Who’s Who manapun juga. Mbah Minah, seorang perempuan tua, dihadapkan ke Pengadilan Negeri Purwokerto lantaran mencuri 3 (tiga) biji kakao. Di Batang, kota pantai Jawa Tengah, itu empat jiwa warga jelata Manisih, Sri Suratmi dan dua anak-anak, dibawa ke meja hijau karena didakwa mengutil kapuk randu. Di Kediri, dua orang jelata paruh baya bernama Kholil dan Basar diseret ke pengadilan karena mencuri sebutir semangka di ladang lantaran haus.

Tiga kasus serupa di tiga kota berbeda sesungguhnya hanya merupakan puncak gunung es yang di bawah permukaan kita belum tahu seberapa besarnya. Tapi sebagai gejala di tengah masyarakat, kita layak prihatin terhadap kemungkinan magnitudenya. Kita sangat layak kuatir, jangan-jangan yang tidak tampak jauh lebih besar.

Melihat kasus itu saya tidak menjadi bangga seraya meyakinkan diri sendiri bahwa hukum sudah ditegakkan dengan tidak pandang bulu. Maaf, tidak. Dengan merenungkan dan mengeksplorasi semua berita di media massa, anehnya kita bertambah yakin bahwa ketiga kasus itu merupakan sebentuk konfirmasi yang nyaris sahih tentang mentalitas korup aparat penegak hukum. Ya, itulah yang kita peroleh, dan bukannya keyakinan bahwa hukum sudah ditegakkan.

Tidak ayal, kita sampai berpikir kalau orang-orang dalam ketiga kasus itu cukup punya duit, berkas mereka niscaya tidak akan sampai ke Kejaksaan karena sudah bisa ‘dimentahkan’. Kalau toh berlanjut sampai Kejaksaan, itu juga bisa dihadang dengan sejumlah rupiah sehingga tidak akan sampai ke meja hakim. Anggodo menjadi contoh preseden yang begitu jelasnya.

Mereka semua sudah jelas miskin harta. Justru karena itu maka aparat ‘buaya’ akan menjadikannya bulan-bulanan sikap deksura mereka. Untuk diketahui, yang menangkap Kholil-Basar adalah adik dari si pemilik ladang semangka, yang notabene seorang aparat kepolisian. Kholil di layar televisi mengaku dihajar oleh (para) ‘buaya’ itu sebelum atau setelah keluarganya gagal dimintai uang. Tidak sulit meyakini ucapannya, karena penyiar televisi —yang bertanya secara telewicara— berkali-kali menyatakan betapa serius konsekuensi pernyataan Kholil itu. Saat itu Kholil bergeming.

Dan Anda pun berhak berprasangka, setelah siaran RCTI (26/11) itu kelak Kholil akan mencabut pernyataan tadi dalam suatu siaran pers. Jika sebelumnya dia sudah pernah dihajar, akan lebih mudah membayangkan dia akan mengalami lagi hal demikian, meskipun mungkin dalam bentuk yang lebih ‘manusiawi’ sesudah siaran televisi tadi.

Setelah upaya kriminalisasi KPK oleh buaya dan biawak yang memalukan itu, di mana sepanjang pemberitaan pers Indonesia memaparkan beberapa variasi perilaku tercela para oknum buaya dan biawak; maka kita jadi mengira-ngira yang lebih jauh lagi. Kita jadi bisa menduga-duga mulai dari rekayasa kasus, penyusunan BAP yang salah prosedur, penyadapan, mematai gerak-gerik, penggunaan uang pelicin, campurtangan makelar kasus (markus), sampai betapa saktinya sosok markus seperti Anggodo itu. Karena itu cukup alasan bagi kita untuk belajar melakukan ekstrapolasi (dengan bekal temuan kolektif kita dari ingar-bingar kasus buaya versus cicak itu) terhadap ke-3 kasus remeh-temeh dari tiga kota tersebut.


INILAH HASIL EKSTRAPOLASI ITU: Di balik kasus orang-orang sengsara tadi —Minah, Manisih, Kholil—, di seberang mereka pasti berdiri pihak yang jauh lebih kuat secara status-ekonomi-sosial. Kepada mereka inilah buaya berpihak, dan mereka yang jelata itu dipinggirkan.

Siapa yang berseberangan dengan Minah, nenek tua yang mengambil kakao tiga biji itu? Tidak lain adalah salah satu PTPN di Purwokerto, salah satu BUMN Departemen Pertanian yang sudah tentu dari sudut penyidik jelas lebih pamor, lebih ‘royal’, dan “sesama pemerintah”. Kesemua itu sudah pasti mereduksi prinsip imparsialitas. Tapi apa mau dikata? Pihak seberang Minah mungkin memiliki counter argument yang tentu sangat kuat, mulai dari “Minah itu pencuri langganan”, “supaya para pencuri yang lain kapok”, atau “untuk menimbulkan efek jera, karena sesepele apapun ternyata diseret ke pengadilan.”

Siapa pula yang berseberangan dengan Manisih? Lihat saja: sebuah perseroan terbatas, tingkat lokal yang cukup besar. Bagi PT “S” orang-orang seperti Manisih, Sri Suratmi dan dua bocah itu mungkin sudah terlalu merepotkan; karena merecoki “aset pabrik secara kecil-kecilan tapi terus berulang”, dst.

Yang berseberangan dengan Kholil, yakni Darwati si pemilik semangka, adalah kakak dari seorang anggota Polri. Kita bisa membayangkan bagaimana Darwati yang jengkel (lantaran dalam hari-hari sebelumnya ladang semangkanya ludes) itu memicu ketegasan sikap si adik, yang tidak mau kompromi terhadap Kholil meskipun dia mengaku tidak tahu menahu dengan pencurian semangka di ladang itu sebelumnya. Sudah minta-minta ampun sekalipun aparat tetap bertindak tegas menegakkan aturan; kalau pencuri ya pencuri; tetap harus dihukum.

Meskipun berada di tiga kota berbeda, saya bisa membayangkan bagaimana kira-kira pihak pengadu, pihak seberang, yang SES-nya lebih tinggi itu berpikir. Begini kira-kira: “Mereka memang harus dibuat jera. Hukuman kepada mereka itu akan menjadi preseden yang bagus bagi para calon maling lainnya, sehingga akan urung mencuri manakala ingat nasib Minah, Manisih atau Kholil. Itulah cara terbaik untuk memberi pelajaran. Toh itu juga berarti penegakan hukum yang berlaku positif di Indonesia.”

Sampai di sini, saya kira akan menarik kalau kita sempat beriskusi dengan penegak hukum yang kelewat rajin itu. Sementara kepada para ‘terdakwa’, saya menyarankan kalau kelak mereka dihukum juga, mereka hendaknya naik banding, kalau perlu sampai kasasi ke Mahkamah Agung.*

0 komentar:

Posting Komentar